Sejarah Singkat dan Ringkasan Cerita Rāmāyana - Pada materi agama Hindu kali ini akan membahas mengenai cerita ramayana yang diringkas serta sejarah singkat cerita Ramayana ini akhirnya sampai ke Indonesia dari India, untuk lebih jelasnya dapat kalian simak dalam penjelasan singkat berikut ini!
Keberadaan cerita Rāmāyana boleh jadi memiliki perjalanan kesejarahan yang panjang serta dibawa bersamaan dengan munculnya kebudayaan Hindu dari India ke Nusantara. Dalam perjalanannya tersebut, tentu terdapat persinggungan kebudayaan yang unik antara India dengan Nusantara atau bahkan dengan Asia. Keunikan tersebut dibuktikan dengan munculnya berbagai versi pada masa awal persebaran cerita Rāmāyana dari India ke berbagai daerah di Asia hingga Nusantara. Kemunculan versi-versi yang berbeda dapat digunakan untuk melihat persinggungan budaya antara India dan daerah-daerah lain yang menggubah atau menyadur cerita Rāmāyana.
Saat penyebaran cerita ini, terdapat kontak sejarah kebudayaan yang cukup erat antara agama Hindu di Asia dan di India. Persebaran cerita Rāmāyana tentu tidak dapat dipisahkan dengan agama Hindu dan Buddha dari India ke berbagai daerah di Asia. Cerita Rāmāyana sendiri merupakan bagian dari khazanah kesusastraan Hindu. Walaupun demikian, pendeta-pendeta Buddha juga menggunakan cerita Rāmāyana untuk menyebarkan agama Buddha ke berbagai daerah di Asia. Tentu saja, cerita Rāmāyana yang disebarkan oleh penganut Hindu dan Buddha memiliki perbedaan dan cerita tersebut disesuaikan untuk kepentingan penyebaran agama itu sendiri.
Tidak hanya pengaruh agama, saat penyebaran cerita ini, terdapat pula kontak sejarah kebudayaan yang cukup erat antara agama Hindu di Asia dan di India. Kontak ini meliputi seluruh elemen yang ada dalam kehidupan, khususnya nilai-nilai yang terkandung di dalam cerita Rāmāyana. Rāmāyana telah memainkan peran penting dalam proses perpindahan dan penyebaran elemen Hindu dari India ke negara-negara di Asia. Nilai-nilai Hindu selalu terlihat di manapun kisah Valmiki diadopsi oleh negara-negara di Asia. Namun, nilai-nilai Hindu ini diserap dengan memperhatikan budaya asli negara itu. Jika nilai itu tidak bertentangan akan diambil, sedangkan jika nilai itu bertentangan akan dibuang.
Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rāmā yang isinya berbeda dengan kakawin Rāmāyana dalam bahasa Jawa kuno. Di India dalam bahasa Sanskeṛta, Rāmāyana dibagi menjadi tujuh kitab atau kanda yaitu; Bālakānda, Ayodhyākāṇḍa, Āraṇyakāṇḍa, Kiṣkindhakāṇḍa, Sundarakāṇḍa, Yuddhakāṇḍa, dan Uttarakāṇḍa.
Bālakānda atau kitab pertama Rāmāyana menceritakan sang Daśaratha yang menjadi Raja di Ayodhyā. Sang raja ini mempunyai tiga istri yaitu: Dewi Kauśalyā, Dewi Kaikeyī dan Dewi Sumitrā. Dewi Kauśalyā berputrakan Sang Rāmā, Dewi Kaikeyī berputrakan sang Barata, lalu Dewi Sumitrā berputrakan sang Lakṣamaṇa dan sang Satrugṇa.
Pada suatu hari, Bagawan Visvamitra meminta tolong kepada Prabu Daśaratha untuk menjaga pertapaannya. Sang Rāmā dan Lakṣamaṇa pergi membantu mengusir para raksasa yang mengganggu pertapaan ini. Lalu atas petunjuk para Brahmana maka sang Rāmā pergi mengikuti sayembara di Wideha dan mendapatkan Dewi Sītā sebagai istrinya. Ketika pulang ke Ayodhyā mereka dihadang oleh Rāmāparasu, tetapi mereka bisa mengalahkannya.
Daśaratha adalah tokoh dari wiracarita Rāmāyana, seorang raja, putra raja, keturunan Iksvaku dan berada dalam golongan Raghuwangsa atau Dinasti Surya. Ia adalah ayah Śrī Rāmā dan memerintah di Kerajaan Kosala dengan pusat pemerintahannya di Ayodhyā.
Daśaratha sebagai seorang raja besar lagi pemurah. Angkatan perangnya ditakuti berbagai negara dan tak pernah kalah dalam pertempuran. Pada saat Daśaratha masih muda dan belum menikah, ia suka berburu dan memiliki kemampuan untuk memanah sesuatu dengan tepat hanya dengan mendengarkan suaranya saja. Di suatu malam, Daśaratha berburu ke tengah hutan. Di tepi sungai Sarayu, ia mendengar suara gajah yang sedang minum. Tanpa melihat sasaran ia segera melepaskan anak panahnya. Namun ia terkejut karena tiba-tiba makhluk tersebut mengaduh dengan suara manusia. Saat ia mendekati sasarannya, ia melihat seorang pertapa muda tergeletak tak berdaya.
Pemuda tersebut bernama Srāvaṇa. Ia mencaci maki Daśaratha yang telah tega membunuhnya, dan berkata bahwa kedua orang tuanya yang buta sedang menunggu dirinya membawakan air. Sebelum meninggal, Srāvaṇa menyuruh agar Daśaratha membawakan air kehadapan kedua orang tua si pemuda yang buta dan tua renta. Daśaratha menjalankan permohonan terakhir tersebut dan menjelaskan kejadian yang terjadi kepada kedua orangtua si pemuda. Daśaratha juga meminta maaf di hadapan mereka.
Setelah mendengar penjelasan Daśaratha, kedua orang tua tersebut menyuruh Daśaratha agar ia mengantar mereka ke tepi sungai untuk meraba jasad putranya yang tercinta untuk terakhir kalinya. Kemudian, mereka mengadakan upacara pembakaran yang layak bagi putranya. Karena rasa cintanya, mereka hendak meleburkan diri bersama-sama ke dalam api pembakaran. Sebelum melompat, ayah si pemuda menoleh kepada Daśaratha dan berkata bahwa kelak pada suatu saat, Daśaratha akan mati dalam kesedihan karena ditinggalkan oleh putranya yang paling dicintai dan paling diharapkan.
Daśaratha memiliki tiga permaisuri, yaitu Kauśalyā, Sumitrā, dan Kaikeyī. Lama setelah pernikahannya, Daśaratha belum juga dikaruniai anak. Akhirnya ia mengadakan Yajña (ritual suci) yang dipimpin Ṛsī Srengga. Dari upacara tersebut, Daśaratha memperoleh payasam berisi air suci untuk diminum oleh para permaisurinya. Kauśalyā dan Kaikeyī minum seteguk, sedangkan Sumitrā meminum dua kali sampai habis.
Beberapa bulan kemudian, suara tangis bayi menyemarakkan istana. Yang pertama melahirkan putra adalah Kauśalyā, dan putranya diberi nama Rāmā. Yang kedua adalah Kaikeyī, melahirkan putra mungil yang diberi nama Bharata. Yang ketiga adalah Sumitrā, melahirkan putra kembar dan diberi nama Lakṣmana dan Satrugṇa.
Kauśalyā adalah istri pertama Daśaratha dari Kerajaan Kosala yang melahirkan Śrī Rāmā. Sumitrā adalah salah seorang istri Prabu Dasaratha dan merupakan ibu dari Lakṣamaṇa dan Satrugṇa. Kaikeyī atau Kekayi adalah permaisuri Raja Daśaratha dalam wiracarita Rāmāyana. Ia merupakan wanita ketiga yang dinikahi Daśaratha setelah dua permaisurinya yang lain tidak mampu memiliki putra. Pada saat Daśaratha meminang dirinya, ayah Kaikeyī membuat perjanjian dengan Daśaratha bahwa putra yang dilahirkan oleh Kaikeyī harus menjadi raja. Daśaratha menyetujui perjanjian tersebut karena dua permaisurinya yang lain tidak mampu melahirkan putra. Namun setelah menikah dan hidup lama, Kaikeyī belum melahirkan putra. Setelah Daśaratha melakukan upacara besar, akhirnya Kaikeyī dan premaisurinya yang lain mendapatkan keturunan. Kaikeyī melahirkan seorang putra bernama Bharata.
Pada suatu ketika di sebuah pertempuran, roda kereta perang Daśaratha pecah. Dalam masa-masa genting tersebut, Kaikeyī yang berada di sana datang menyelamatkan Daśaratha serta memperbaiki kereta tersebut sampai bisa dipakai lagi. Karena terharu oleh pertolongan Kaikeyī, Daśaratha mempersilakan Kaikeyī untuk mengajukan tiga permohonan. Namun Kaikeyī menolak karena ia ingin menagih janji tersebut pada saat yang tepat. Sebagai istri yang paling muda, Kaikeyī merasa cemas apabila Daśaratha kurang mencintainya dibandingkan dua istrinya yang lain.
Saat Rāmā hendak dinobatkan menjadi raja, pelayan Kaikeyī yang bernama Mantara datang dan menghasut Kaikeyī agar mengangkat Bharata menjadi Raja sekaligus menyingkirkan Rāmā ke hutan selama 14 tahun. Dengan mengangkat Bharata menjadi raja, Mantara berharap bahwa Kaikeyī akan menjadi ibu suri dan statusnya berada di atas permaisuri yang lain. Kaikeyī menolak usul Mantara karena ia tahu bahwa Rāmā lebih pantas menjadi raja, dan setelah itu Bharata akan menggantikannya.
Mendengar alasan Kaikeyī, Mantara berkata bahwa tidak ada alasan bagi Bharata untuk menjadi raja menggantikan Rāmā karena jika Rāmā menjadi raja sampai akhir hayatnya, maka tidak ada kesempatan bagi Bharata untuk menggantikannya karena tahta diserahkan kepada keturunan Rāmā. Setelah Mantara menghasut Kaikeyī dengan berbagai alasan, Kaikeyī mengambil tindakan. Ia menemui Raja Daśaratha dan meminta dua permohonan sesuai dengan kesempatan yang telah diberikan sebelumnya. Pertama ia memohon Bharata untuk menjadi raja, dan yang kedua ia memohon agar Rāmā diasingkan ke hutan. Dengan berat hati, Raja Daśaratha memenuhi permohonan tersebut, namun tak lama kemudian ia wafat dalam keadaan sakit hati.
Ayah Rāmā adalah Raja Daśaratha dari Ayodhyā, sedangkan ibunya adalah Kauśalyā. Dalam Rāmāyana diceritakan bahwa Raja Daśaratha yang merindukan putra mengadakan upacara bagi para dewa, upacara yang disebut Putrakama Yajña. Upacaranya diterima oleh para Dewa dan utusan mereka memberikan sebuah air suci agar diminum oleh setiap permaisurinya. Atas anugerah tersebut, ketiga permaisuri Raja Daśaratha melahirkan putra. Yang tertua bernama Rāmā, lahir dari Kauśalyā.
Yang kedua adalah Bharata, lahir dari Kaikeyī, dan yang terakhir adalah Lakṣmaṇa dan Satrugṇa, lahir dari Sumitrā. Keempat pangeran tersebut tumbuh menjadi putra yang gagah-gagah dan terampil memainkan senjata di bawah bimbingan Rsi Wasista.
Pada suatu hari, Rsi Visvamitra datang menghadap Raja Daśaratha. Daśaratha tahu benar watak Ṛsī tersebut dan berjanji akan mengabulkan permohonannya sebisa mungkin. Akhirnya Sang Ṛsī mengutarakan permohonannya, yaitu meminta bantuan Rāmā untuk mengusir para raksasa yang mengganggu ketenangan para Ṛsī di hutan. Mendengar permohonan tersebut, Raja Daśaratha sangat terkejut karena merasa tidak sanggup untuk mengabulkannya, namun ia juga takut terhadap kutukan Ṛsī Visvamitra.
Daśaratha merasa anaknya masih terlalu muda untuk menghadapi para raksasa, namun Ṛsī Visvamitra menjamin keselamatan Rāmā. Setelah melalui perdebatan dan pergolakan dalam batin, Daśaratha mengabulkan permohonan Ṛsī Visvamitra dan mengizinkan putranya untuk membantu para Ṛsī.
Di tengah hutan, Rāmā dan Lakṣmana memperoleh mantra sakti dari Ṛsī Visvamitra, yaitu bala dan atibala. Setelah itu, mereka menempuh perjalanan menuju kediaman para Ṛsī di Sidhasrama. Sebelum tiba di Sidhasrama, Rāmā, Lakṣmana, dan Ṛsī Visvamitra melewati hutan Dandaka. Di hutan tersebut, Rāmā mengalahkan rakshasi Tataka dan membunuhnya. Setelah melewati hutan Dandaka, Rāmā sampai di Sidhasrama bersama Lakṣmana dan Ṛsī Visvamitra.
Di sana, Rāmā dan Lakṣmana melindungi para Ṛsī dan berjanji akan mengalahkan raksasa yang ingin mengotori pelaksanaan Yajña yang dilakukan oleh para Ṛsī. Saat raksasa Marica dan Subahu datang untuk megotori sesajen dengan darah dan daging mentah, Rāmā dan Lakṣmana tidak tinggal diam. Atas permohonan Rāmā, nyawa Marica diampuni oleh Lakṣmana, sedangkan untuk Subahu, Rāmā tidak memberi ampun. Dengan senjata Agni Astra atau Panah Api, Rāmā membakar tubuh Subahu sampai menjadi abu. Setelah Rāmā membunuh Subahu, pelaksanaan Yajña berlangsung dengan lancar dan aman.
Dalam bahasa Sansekerta, kata Sītā bermakna “kerut”. Kata “kerut” merupakan istilah puitis pada zaman India Kuno, yang menggambarkan aroma dari kesuburan.
Nama Sītā dalam Rāmāyana kemungkinan berasal dari Dewi Sītā, yang pernah disebutkan dalam Ṛgveda sebagai dewi bumi yang memberkati ladang dengan hasil panen yang bermutu. Seperti tokoh terkenal dalam legenda Hindu lainnya, Sītā juga dikenal dengan banyak nama. Sebagai puteri Raja Janaka, ia dipanggil Janaki; sebagai putri Mithila, ia dipanggil Maithili; sebagai istri Raama, ia dipanggil Rāmāa. Karena berasal dari Kerajaan Wideha, ia pun juga dikenal dengan nama Waidehi. Suatu ketika Kerajaan Wideha dilanda kelaparan. Janaka sebagai raja melakukan upacara atau Yajña di suatu area ladang antara lain dengan cara membajak tanahnya.
Ternyata mata bajak Janaka membentur sebuah peti yang berisi bayi perempuan. Bayi itu dipungutnya menjadi anak angkat dan dianggap sebagai titipan Pertiwi, dewi bumi dan kesuburan. Sītā dibesarkan di istana Mithila, ibu kota Wideha oleh Janaka dan Sunayana, permaisurinya. Setelah usianya menginjak dewasa, Janaka pun mengadakansebuah sayembara untuk menemukan pasangan yang tepat bagi putrinya itu. Sayembara tersebut adalah membentangkan busur pusaka maha berat anugerah Dewa Siwa, dan dimenangkan oleh Śrī Rāmā, seorang pangeran dari Kerajaan Kosala. Setelah menikah, Sītā pun tinggal bersama suaminya di Ayodhyā, ibu kota Kosala.
Visvamitra mendengar adanya sebuah sayembara di Mithila demi memperebutkan Dewi Sītā. Ia mengajak Rāmā dan Lakṣmana untuk mengikuti sayembara tersebut. Mereka menyanggupinya. Setibanya di sana, Rāmā melihat bahwa tidak ada orang yang mampu memenuhi persyaratan untuk menikahi Sītā, yaitu mengangkat serta membengkokkan busur Siwa. Namun saat Rāmā tampil ke muka, ia tidak hanya mampu mengangkat serta membengkokkan busur Siwa, namun juga mematahkannya menjadi tiga. Saat busur itu dipatahkan, suaranya besar dan menggelegar seperti guruh. Melihat kemampuan istimewa tersebut, ayah Sītā yaitu Raja Janaka, memutuskan agar Rāmā menjadi menantunya. Sītā pun senang mendapatkan suami seperti Rāmā.
Kemudian utusan dikirim ke Ayodhyā untuk memberitahu kabar baik tersebut. Raja Daśaratha girang mendengar putranya sudah mendapatkan istri di Mithila, kemudian ia segera berangkat ke sana. Setelah menyaksikan upacara pernikahan Rāmā dan Sītā, Visvamitra mohon pamit untuk melanjutkan tapa di Gunung Himalaya, sementara Daśaratha pulang ke Ayodhyā diikuti oleh Ṛsī Wasistha serta pengiring-pengiringnya. Di tengah jalan, mereka berjumpa dengan Ṛsī Parasu Rāmā, yaitu brahmana sakti yang ditakuti para ksatria. Parasu Rāmā memegang sebuah busur di bahunya yang konon merupakan busur Wisnu. Ia sudah mendengar kabar bahwa Rāmā telah mematahkan busur Siwa.
Dengan wajah yang sangar, ia menantang Rāmā untuk membengkokkan busur Wisnu. Rāmā menerima tantangan tersebut dan membengkokkan busur Wisnu dengan mudah. Melihat busur itu dibengkokkan dengan mudah, seketika raut wajah Parasu Rāmā menjadi lemah lembut. Rāmā berkata, “Panah Waisnawa ini harus mendapatkan mangsa. Apakah panah ini harus menghancurkan kekuatan Tuan atau hasil tapa Tuan?”. Parasu Rāmā menjawab agar panah itu menghancurkan hasil tapanya, karena ia hendak merintis hasil tapanya dari awal kembali. Setelah itu, Parasu Rāmā mohon pamit dan pergi ke Gunung Mahendra.
Ayodhyākāṇḍa adalah kitab kedua epos Rāmāyana dan menceritakan sang Daśaratha yang akan menyerahkan kerajaan kepada sang Rāmā, tetapi dihalangi oleh Dewi Kaikeyī. Katanya beliau pernah menjanjikan warisan kerajaan kepada anaknya. Maka sang Rāmā disertai oleh Dewi Sītā dan Lakṣamaṇa pergi mengembara dan masuk ke dalam hutan selama 14 tahun. Setelah mereka pergi, maka Prabu Daśaratha meninggal karena sedihnya. Sementara Rāmā pergi, Bharata baru saja pulang dari rumah pamannya dan tiba di Ayodhyā. Ia mendapati bahwa ayahnya telah wafat serta Rāmā tidak ada di istana.
Kaikeyī menjelaskan bahwa Bharatalah yang kini menjadi raja, sementara Rāmā mengasingkan diri ke hutan. Bharata menjadi sedih mendengarnya, kemudian menyusul Rāmā. Harapan Kaikeyī untuk melihat putranya senang menjadi raja ternyata sia-sia.
Di dalam hutan, Bharata mencari Rāmā dan memberi berita duka karena Prabu Daśaratha telah wafat. Ia membujuk Rāmā agar kembali ke Ayodhyā untuk menjadi raja. Rakyat juga mendesak demikian, namun Rāmā menolak karena ia terikat oleh perintah ayahnya. Untuk menunjukkan jalan yang benar, Rāmā menguraikan ajaran-ajaran agama kepada Bharata. Rāmā menyerahkan sandalnya (dalam bahasa Sanskeṛta: paduka). Akhirnya Bharata membawa sandal milik Rāmā dan meletakkannya di singasana. Dengan lambang tersebut, ia memerintah Ayodhyā atas nama Rāmā.
Rāmā atau Rāmācandra adalah seorang raja legendaries konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhyā. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang disebut Rāmāyana, tersebar dari Asia Selatan sampai Asia Tenggara.
Terlahir sebagai putra sulung dari pasangan Raja Daśaratha dengan Kauśalyā, ia dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang artinya “Manusia Sempurna”. Setelah dewasa, Rāmā memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi Sītā, inkarnasi dari Dewi Lakṣmi. Rāmā memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lava.
Dalam wiracarita Rāmāyana diceritakan bahwa sebelum Rāmā lahir, seorang raja raksasa bernama Rāvaṇa telah meneror Triloka (tiga dunia) sehingga membuat para dewa merasa cemas. Atas hal tersebut, Dewi bumi menghadap Brahma agar beliau bersedia menyelamatkan alam beserta isinya. Para dewa juga mengeluh kepada Brahma, yang telah memberikan anugerah kepada Rāvaṇa sehingga raksasa tersebut menjadi takabur. Setelah para dewa bersidang, mereka memohon agar Wisnu bersedia menjelma kembali ke dunia untuk menegakkan dharma serta menyelamatkan orang-orang saleh.
Dewa Wisnu menyatakan bahwa ia bersedia melakukannya. Ia berjanji akan turun ke dunia sebagai Rāmā, putra raja Daśaratha dari Ayodhyā. Dalam penjelmaannya ke dunia, Wisnu ditemani oleh Naga Sesa yang akan mengambil peran sebagai Lakṣmana, serta Lakṣmi yang akan mengambil peran sebagai Sītā.
Ibu Rāvaṇa bernama Kaikesi, seorang puteri Raja Detya bernama Sumali. Sumali memperoleh anugerah dari Brahma sehingga ia mampu menaklukkan para raja dunia. Sumali berpesan kepada Kekasi agar ia menikah dengan orang yang istimewa di dunia. Di antara para Ṛsī, Kekasi memilih Visrava sebagai pasangannya. Visvara memperingati Kekasi bahwa bercinta di waktu yang tak tepat akan membuat anak mereka menjadi jahat, namun Kekasi menerimanya meskipun diperingatkan demikian.
Akhirnya, Rāvaṇa lahir dengan kepribadian setengah brahmana, setengah raksasa. Saat lahir, Rāvaṇa diberi nama “Dasanana” atau “Dasagriwa”, dan konon ia memiliki sepuluh kepala. Beberapa alasan menjelaskan bahwa sepuluh kepala tersebut adalah pantulan dari permata pada kalung yang diberikan ayahnya sewaktu lahir, atau ada yang menjelaskan bahwa sepuluh kepala tersebut adalah simbol bahwa Rāvaṇa memiliki kekuatan sepuluh tokoh tertentu.
Saat masih muda, Rāvaṇa mengadakan tapa memuja Dewa Brahma selama bertahun-tahun. Karena berkenan dengan pemujaannya, Brahma muncul dan mempersilakan Rāvaṇa mengajukan permohonan. Mendapat kesempatan tersebut, Rāvaṇa memohon agar ia hidup abadi, namun permohonan tersebut ditolak oleh Brahma. Sebagai gantinya, Rāvaṇa memohon agar ia kebal terhadap segala serangan dan selalu unggul di antara para dewa, makhluk surgawi, raksasa, detya, danawa, segala naga dan makhluk buas. Karena menganggap remeh manusia, ia tidak memohon agar unggul terhadap mereka. Mendengar permohonan tersebut, Brahma mengabulkannya, dan menambahkan kepandaian menggunakan senjata dewa dan ilmu sihir.
Setelah memperoleh anugerah Brahma, Rāvaṇa mencari kakeknya, Sumali, dan memintanya kuasa untuk memimpin tentaranya. Kemudian ia melancarkan serangannya menuju Alengka. Alengka merupakan kota yang permai, diciptakan oleh seorang arsitek para dewa bernama Wiswakarma untuk Kubera, Dewa kekayaan.
Kubera juga merupakan putra Visvara, dan bermurah hati untuk membagi segala miliknya kepada anak-anak Kekasi. Namun Rāvaṇa menuntut agar seluruh Alengka menjadi miliknya, dan mengancam akan merebutnya dengan kekerasan. Visvara menasihati Kubera agar memberikannya, sebab sekarang Rāvaṇa tak tertandingi. Ketika Rāvaṇa merampas Alengka untuk memulai pemerintahannya, ia dipandang sebagai pemimpin yang sukses dan murah hati. Alengka berkembang di bawah pemerintahannya. Konon rumah yang paling miskin sekalipun memiliki kendaraan dari emas dan tidak ada kelaparan di kerajaan tersebut.
Setelah keberhasilannya di Alengka, Rāvaṇa mendatangi Dewa Siwa di kediamannya di gunung Kailasha. Tanpa disadari, Rāvaṇa mencoba mencabut gunung tersebut dan memindahkannya sambil main-main. Siwa yang merasa kesal dengan kesombongan Rāvaṇa, menekan Kailasha dengan jari kakinya, sehingga Rāvaṇa tertindih pada waktu itu juga. Kemudian Gana datang untuk memberitahu Rāvaṇa, pada siapa ia harus bertobat. Lalu Rāvaṇa menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Siwa, dan konon ia melakukannya selama bertahun-tahun, sampai Siwa membebaskannya dari hukuman. Terkesan dengan keberanian dan kesetiaannya, Siwa memberinya kekuatan tambahan, khususnya pemberian hadiah berupa Chandrahasa (pedang-bulan), pedang yang tak terkira kuatnya.
Selanjutnya Rāvaṇa menjadi pemuja Siwa seumur hidup. Rāvaṇa terkenal dengan tarian pemujaannya kepada Siwa yang bernama “Shiva Tandava Stotra”. Semenjak peristiwa tersebut ia memperoleh nama ‘Rāvaṇa’, berarti “(Ia) Yang raungannya dahsyat”, diberikan kepadanya oleh Siwa – konon bumi sempat berguncang saat Rāvaṇa menangis kesakitan karena ditindih gunung.
Dengan kekuatan yang diperolehnya, Rāvaṇa melakukan penyerangan untuk menaklukkan ras manusia, makhluk jahat (asura – rakshasa – detya – danawa), dan makhluk surgawi. Setelah menaklukkan Patala (dunia bawah tanah), ia mengangkat Ahirawan sebagai raja. Rāvaṇa sendiri menguasai ras asura di tiga dunia. Karena tidak mampu mengalahkan Wangsa Niwatakawaca dan Kalakeya, ia menjalin persahabatan dengan mereka. Setelah menaklukkan para raja dunia, ia mengadakan upacara yang layak dan dirinya diangkat sebagai Maharaja.
Oleh karena Kubera telah menghina tindakan Rāvaṇa yang kejam dan tamak, Rāvaṇa mengerahkan pasukannya menyerbu kediaman para dewa, dan menaklukkan banyak dewa. Lalu ia mencari Kubera dan menyiksanya secara khusus. Dengan kekuatannya, ia menaklukkan banyak dewa, makhluk surgawi, dan bangsa naga.
Selain terkenal sebagai penakluk tiga dunia, Rāvaṇa juga terkenal akan petualangannya menaklukkan para wanita. Rāvaṇa memiliki banyak istri, yang paling terkenal adalah Mandodari, putra Mayasura dengan seorang bidadari bernama Hema. Rāmāyana mendeskripsikan bahwa istana Rāvaṇa dipenuhi oleh para wanita cantik yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Dalam Rāmāyana juga dideskripsikan bahwa di Alengka, semua wanita merasa beruntung apabila Rāvaṇa menikahinya. Dua legenda terkenal menceritakan kisah pertemuan Rāvaṇa dengan wanita istimewa.
Wanita istimewa pertama adalah Vedawati, seorang pertapa wanita. Vedawati mengadakan pemujaan ke hadapan Wisnu agar ia diterima menjadi istrinya. Ketika Rāvaṇa melihat kecantikan Vedawati, hatinya terpikat dan ingin menikahinya. Ia meminta Vedawati untuk menghentikan pemujaannya dan ia merayu Vedawati agar bersedia untuk menikahinya. Karena Vedawati menolak, Rāvaṇa mencoba untuk melarikannya. Kemudian Vedawati bersumpah bahwa ia akan lahir kembali sebagai penyebab kematian Rāvaṇa. Setelah berkata demikian, Vedawati membuat api unggun dan menceburkan diri ke dalamnya. Bertahun-tahun kemudian ia bereinkarnasi sebagai Sītā, yang diculik oleh Rāvaṇa sehingga Rāmā turun tangan dan membunuh Rāvaṇa. Rāvaṇa memiliki banyak kerabat dan saudara yang disebutkan dalam Rāmāyana.
Karena sulit menemukan data-data mengenai mereka selain Rāmāyana, tidak banyak yang diketahui tentang mereka. Menurut Rāmāyana, ibu Rāvaṇa adalah puteri seorang Detya bernama Kekasi, menikahi seorang pertapa bernama Visvara. Rāvaṇa memiliki kakek bernama Pulastya, putra Brahma. Dari pihak ibunya, Rāvaṇa memiliki kakek bernama Sumali, dan ia memiliki paman bernama Marica, putra Tataka, saudara Malyawan. Rāvaṇa memiliki tiga istri dan tujuh putra. Tujuh putra Rāvaṇa yaitu: Indrajit alias Megananda, Prahasta, Atikaya, Aksa alias Aksayakumara, Dewantaka, Narantaka, dan Trisirah. Selain itu, Rāvaṇa memiliki enam saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Saudara-saudaranya tersebut terdiri atas tiga saudara kandung dan lima saudara tiri.
Saudara-saudara Rāvaṇa yaitu:
Kubera, kakak tiri Rāvaṇa, lain ibu namun satu ayah. Raja Alengka sebelum Rāvaṇa. Ia merupakan dewa penjaga arah utara, sekaligus dewa kekayaan.2. Kumbhakarṇa, adik kandung Rāvaṇa. Rakshasa yang tidur selama enam bulan dan bangun selama enam bulan karena anugerah Brahma.
Sītā dan Lakṣmana yang setia turut mendampingi Rāmā. Sebagai putra yang berbakti, Rāmā pun menjalani keputusan itu dengan ikhlas. Sītā yang setia mengikuti perjalanan Rāmā, begitu pula adik Rāmā yang lahir dari ibu lain, yaitu Lakṣmana.
Ketiganya meninggalkan istana Ayodhyā untuk memulai hidup di dalam hutan. Di tengah hutan Dandaka, Rāmā mendirikan sebuah pondok kayu. Di dalam hutan belantara dan pegunungan, Rāmā, Sītā, dan Lakṣmana banyak bergaul dengan para pendeta dan brahmana sehingga menambah ilmu pengetahuan dan kepandaian mereka. Setiap hari Rāmā berburu binatang untuk persediaan makanan, sementara Lakṣamaṇa mencari buah-buahan. Sītā selain menyiapkan makanan, juga mencari kembang untuk keperluan upacara pemujaan. Rāmā amat gemar berburu rusa. Pulang dari perburuan, rusa itu disembelih lalu dagingnya diiris-iris dan dijemur agar kering. Sītā selalu menjaga daging rusa yang sedang dijemur itu. Tapi burung-burung gagak senantiasa mencium baunya. Beramai-ramai mereka menyambar jemuran daging itu hingga habis.
Pada suatu hari Rāmā tidak pergi berburu karena dia ingin tahu binatang apakah yang selalu mencuri dan menghabiskan jemuran dagingnya. Diapun mengintai. Ternyata burung-burung gagaklah yang mencurinya. Sambil berlindung Rāmā membidik burung-burung pencuri itu dengan panah. Satu persatu burung-burung pencuri itu terkena anak panah dan tubuhnya jatuh berserakan. Sejak itu jemuran daging Sītā tak ada lagi yang mencuri.
Tak berapa lama kemudian, Daśaratha wafat dalam kesedihan. Setelah Daśaratha wafat, Kaikeyī mulai menyesali tindakannya dan memarahi dirinya sendiri atas kematian Sang Raja. Rakyat Ayodhyā pun marah dan menghujat Kaikeyī. Bharata juga marah dan berkata bahwa ia tidak akan menyebut Kaikeyī sebagai ibunya lagi. Pelayan Kaikeyī yang bernama Mantara hendak dibunuh oleh Satrugṇa karena menghasut Kaikeyī dengan lidahnya yang tajam, namun ia diampuni oleh Rāmā.
Āraṇyakāṇḍa adalah kitab ke tiga epos Rāmāyana. Dalam kitab ini diceritakanlah bagaimana sang Rāmā dan Lakṣamaṇa membantu para tapa di sebuah asrama mengusir sekalian raksasa yang datang mengganggu.
Selama masa pembuangan, Lakṣmana membuat pondok untuk Rāmā dan Sītā. Ia juga melindungi mereka di saat malam sambil berbincang-bincang dengan para pemburu di hutan. Saat menjalani masa pengasingan di hutan, Rāmā dan Lakṣmana didatangi seorang rakshasi bernama Surpanaka. Ia mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik dan menggoda Rāmā dan Lakṣmana. Rāmā menolak untuk menikahinya dengan alasan bahwa ia sudah beristri, maka ia menyuruh agar Surpanaka membujuk Lakṣmana, namun Lakṣmana pun menolak. Surpanaka iri melihat kecantikan Sītā dan hendak membunuhnya. Dengan sigap Rāmā melindungi Sītā dan Lakṣmana mengarahkan pedangnya kepada Surpanaka yang hendak menyergapnya. Hal itu membuat hidung Surpanaka terluka. Surpanaka mengadukan peristiwa tersebut kepada kakaknya yang bernama Kara. Kara marah terhadap Rāmā yang telah melukai adiknya dan hendak membalas dendam.
Dengan angkatan perang yang luar biasa, Kara dan sekutunya menggempur Rāmā, namun mereka semua gugur. Akhirnya Surpanaka melaporkan keluhannya kepada Rāvaṇa di Kerajaan Alengka. Surpanaka mengadu kakaknya sang Rāvaṇa sembari memprovokasinya untuk menculik Dewi Sītā yang katanya sangat cantik. Sang Rāvaṇapun pergi diiringi oleh Marica. Marica menyamar menjadi seekor kijang emas yang menggoda Dewi Sītā. Dewi Sītā tertarik dan meminta Rāmā untuk menangkapnya.
Pada suatu hari, Sītā melihat seekor kijang yang sangat lucu sedang melompat-lompat di halaman pondoknya. Rāmā dan Lakṣmana merasa bahwa kijang tersebut bukan kijang biasa, namun atas desakan Sītā, Rāmā memburu kijang tersebut sementara Lakṣmana ditugaskan untuk menjaga Sītā. Dewi Sītā ditinggalkannya dan dijaga oleh Lakṣamaṇa. Rāmāpun pergi memburunya, tetapi si Marica sangat gesit. Kijang yang diburu Rāmā terus mengantarkannya ke tengah hutan.
Karena Rāmā merasa bahwa kijang tersebut bukan kijang biasa, ia memanahnya. Seketika hewan tersebut berubah menjadi Marica, patih Sang Rāvaṇa. Saat Rāmā memanah kijang kencana tersebut, hewan itu berubah menjadi rakshasa Marica, dan mengerang dengan suara keras. Sītā yang merasa cemas, menyuruh Lakṣmana agar menyusul kakaknya ke hutan. Karena teguh dengan tugasnya untuk melindungi Sītā, Lakṣmana menolak secara halus.
Kemudian Sītā berprasangka bahwa Lakṣmana memang ingin membiarkan kakaknya mati di hutan sehingga apabila Sītā menjadi janda, maka Lakṣmana akan menikahinya. Mendengar perkataan Sītā, Lakṣmana menjadi sakit hati dan bersedia menyusul Rāmā, namun sebelumnya ia membuat garis pelindung dengan anak panahnya agar makhluk jahat tidak mampu meraih Sītā. Garis pelindung tersebut bernama Lakṣmana Rekha, dan sangat ampuh melindungi seseorang yang berada di dalamnya, selama ia tidak keluar dari garis tersebut.
Saat Lakṣmana meinggalkan Sītā sendirian, raksasa Rāvaṇa yang menyamar sebagai seorang brahmana muncul dan meminta sedikit air kepada Sītā. Karena Rāvaṇa tidak mampu meraih Sītā yang berada dalam Lakshmana Rekha, maka ia meminta agar Sītā mengulurkan tangannya. Pada saat tangan Rāvaṇa memegang tangan Sītā, ia segera menarik Sītā keluar dari garis pelindung dan menculiknya. Lakṣmana menyusul Rāmā ke hutan, Rāmā terkejut karena Sītā ditinggal sendirian. Ketika mereka berdua pulang, Sītā sudah tidak ada. Rāvaṇa bertemu dengan seekor burung sakti sang Jatayu tetapi Jatayu kalah dan sekarat. Lakṣamaṇa yang sudah menemukan Rāmā menjumpai Jatayu yang menceritakan kisahnya sebelum ia mati.
Menurut kitab Purana, Lakṣmana merupakan penitisan Sesa. Shesha adalah ular yang mengabdi kepada Dewa Wisnu dan menjadi ranjang ketika Wisnu beristirahat di lautan susu. Shesha menitis pada setiap awatara Wisnu dan menjadi pendamping setianya.
Dalam Rāmāyana, ia menitis kepada Lakṣmana sedangkan dalam Mahabharata, ia menitis kepada Baladewa. Lakṣmana merupakan putra ketiga Raja Daśaratha yang bertahta di kerajaan Kosala, dengan ibukota Ayodhyā. Kakak sulungnya bernama Rāmā, kakak keduanya bernama Bharata, dan adiknya sekaligus kembarannya bernama Satrugṇa. Di antara saudara-saudaranya, Lakṣmana memiliki hubungan yang sangat dekat terhadap Rāmā. Mereka bagaikan duet yang tak terpisahkan. Ketika Rāmā menikah dengan Sītā, Lakṣmana juga menikahi adik Dewi Sītā yang bernama Urmila.
Meskipun keempat putra Raja Daśaratha saling menyayangi satu sama lain, namun Satrugṇa lebih cenderung dekat terhadap Bharata, sedangkan Lakṣmana cenderung dekat terhadap Rāmā. Saat Ṛsī Visvamitra datang meminta bantuan Rāmā agar mengusir para raksasa di hutan Dandaka, Lakṣmana turut serta dan menambah pengalaman bersama kakaknya. Di hutan mereka membunuh banyak raksasa dan melindungi para Ṛsī. Bisa dikatakan bahwa Lakṣmana selalu berada di sisi Rāmā dan selalu berbakti kepadanya dalam setiap petualangan Rāmā dalam Rāmāyana.
Saat Rāmā dibuang ke hutan karena tuntutan permaisuri Kaikeyī, Lakṣmana mengikutinya bersama Sītā. Ketika Bharata datang menyusul Rāmā ke dalam hutan dengan angkatan perang Ayodhyā, Lakṣmana mencurigai kedatangan Bharata dan bersiap-siap untuk melakukan serangan. Rāmā yang mengetahui maksud kedatangan Bharata menyuruh Lakṣmana agar menahan nafsunya dan menjelaskan bahwa Bharata tidak mungkin menyerang mereka di hutan, malah sebaliknya Bharata ingin agar Rāmā kembali ke Ayodhyā. Setelah mendengar penjelasan Rāmā, Lakṣmana menjadi sadar dan malu.
Sesampainya di istana Kerajaan Alengka yang terletak di kota Trikuta, Sītā pun ditawan di dalam sebuah taman yang sangat indah, bernama Taman Asoka. Di sekelilingnya ditempatkan para raksasi yang bermuka buruk dan bersifat jahat namun dungu. Selama ditawan di istana Alengka, Sītā selalu berdoa dan berharap Rāmā datang menolongnya. Pada suatu hari muncul seekor Wanara datang menemuinya. Ia mengaku bernama Hanumān, utusan Śrī Rāmā. Sebagai bukti Hanumān menyerahkan cincin milik Sītā yang dulu dibuangnya di hutan ketika ia diculik Rāvaṇa. Cincin tersebut telah ditemukan oleh Rāmā. Hanumān membujuk Sītā supaya bersedia meninggalkan Alengka bersama dirinya. Sītā menolak karena ia ingin Rāmā yang datang sendiri ke Alengka untuk merebutnya dari tangan Rāvaṇa dengan gagah berani. Hanumān dimintanya untuk kembali dan menyampaikan hal itu.
Sejarah dan Ringkasan Cerita Ramayana Asli (2)
Sejarah Cerita Rāmāyana
Cerita Rāmāyana merupakan suatu pendidikan rohani yang mengandung falsafah yang sangat dalam artinya. Cerita Rāmāyana sesuai dengan cerita kehidupan manusia dalam mencari kebenaran dan hidup yang sempurna. Cerita Rāmāyana menyinggung pula kebaikan dan kesetiaan Dewi Sita kepada suaminya yaitu Sri Rama, karena Sri Rama adalah titisan Dewa Wisnu. Dari segi sosial masyarakat membuktikan bahwa Rama dan Dewi Sita adalah merupakan tokoh-tokoh sosiawan dan dermawan yang mencintai sesamanya. Kitab Rāmāyana merupakan hasil sastra India yang indah dan berani. Menurut perkiraan, di India ada lebih dari 100 juta orang yang pernah membaca kitab Rāmāyana.Keberadaan cerita Rāmāyana boleh jadi memiliki perjalanan kesejarahan yang panjang serta dibawa bersamaan dengan munculnya kebudayaan Hindu dari India ke Nusantara. Dalam perjalanannya tersebut, tentu terdapat persinggungan kebudayaan yang unik antara India dengan Nusantara atau bahkan dengan Asia. Keunikan tersebut dibuktikan dengan munculnya berbagai versi pada masa awal persebaran cerita Rāmāyana dari India ke berbagai daerah di Asia hingga Nusantara. Kemunculan versi-versi yang berbeda dapat digunakan untuk melihat persinggungan budaya antara India dan daerah-daerah lain yang menggubah atau menyadur cerita Rāmāyana.
Lakon Rāvaṇa dengan dasamuka |
Tidak hanya pengaruh agama, saat penyebaran cerita ini, terdapat pula kontak sejarah kebudayaan yang cukup erat antara agama Hindu di Asia dan di India. Kontak ini meliputi seluruh elemen yang ada dalam kehidupan, khususnya nilai-nilai yang terkandung di dalam cerita Rāmāyana. Rāmāyana telah memainkan peran penting dalam proses perpindahan dan penyebaran elemen Hindu dari India ke negara-negara di Asia. Nilai-nilai Hindu selalu terlihat di manapun kisah Valmiki diadopsi oleh negara-negara di Asia. Namun, nilai-nilai Hindu ini diserap dengan memperhatikan budaya asli negara itu. Jika nilai itu tidak bertentangan akan diambil, sedangkan jika nilai itu bertentangan akan dibuang.
Memahami Teks Cerita Rāmāyana Asli
Kata I berasal dari bahasa Sanskeṛta yaitu dari kata Rāma dan Ayaṇa yang berarti “Perjalanan Rāmā”, adalah sebuah cerita epos dari India yang digubah oleh Valmiki (Valmiki) atau Balmiki. Rāmāyana terdapat pula dalam khazanah sastra Jawa dalam bentuk kakawin Rāmāyana.Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rāmā yang isinya berbeda dengan kakawin Rāmāyana dalam bahasa Jawa kuno. Di India dalam bahasa Sanskeṛta, Rāmāyana dibagi menjadi tujuh kitab atau kanda yaitu; Bālakānda, Ayodhyākāṇḍa, Āraṇyakāṇḍa, Kiṣkindhakāṇḍa, Sundarakāṇḍa, Yuddhakāṇḍa, dan Uttarakāṇḍa.
Bālakānda atau kitab pertama Rāmāyana menceritakan sang Daśaratha yang menjadi Raja di Ayodhyā. Sang raja ini mempunyai tiga istri yaitu: Dewi Kauśalyā, Dewi Kaikeyī dan Dewi Sumitrā. Dewi Kauśalyā berputrakan Sang Rāmā, Dewi Kaikeyī berputrakan sang Barata, lalu Dewi Sumitrā berputrakan sang Lakṣamaṇa dan sang Satrugṇa.
Pada suatu hari, Bagawan Visvamitra meminta tolong kepada Prabu Daśaratha untuk menjaga pertapaannya. Sang Rāmā dan Lakṣamaṇa pergi membantu mengusir para raksasa yang mengganggu pertapaan ini. Lalu atas petunjuk para Brahmana maka sang Rāmā pergi mengikuti sayembara di Wideha dan mendapatkan Dewi Sītā sebagai istrinya. Ketika pulang ke Ayodhyā mereka dihadang oleh Rāmāparasu, tetapi mereka bisa mengalahkannya.
Daśaratha adalah tokoh dari wiracarita Rāmāyana, seorang raja, putra raja, keturunan Iksvaku dan berada dalam golongan Raghuwangsa atau Dinasti Surya. Ia adalah ayah Śrī Rāmā dan memerintah di Kerajaan Kosala dengan pusat pemerintahannya di Ayodhyā.
Daśaratha sebagai seorang raja besar lagi pemurah. Angkatan perangnya ditakuti berbagai negara dan tak pernah kalah dalam pertempuran. Pada saat Daśaratha masih muda dan belum menikah, ia suka berburu dan memiliki kemampuan untuk memanah sesuatu dengan tepat hanya dengan mendengarkan suaranya saja. Di suatu malam, Daśaratha berburu ke tengah hutan. Di tepi sungai Sarayu, ia mendengar suara gajah yang sedang minum. Tanpa melihat sasaran ia segera melepaskan anak panahnya. Namun ia terkejut karena tiba-tiba makhluk tersebut mengaduh dengan suara manusia. Saat ia mendekati sasarannya, ia melihat seorang pertapa muda tergeletak tak berdaya.
Pemuda tersebut bernama Srāvaṇa. Ia mencaci maki Daśaratha yang telah tega membunuhnya, dan berkata bahwa kedua orang tuanya yang buta sedang menunggu dirinya membawakan air. Sebelum meninggal, Srāvaṇa menyuruh agar Daśaratha membawakan air kehadapan kedua orang tua si pemuda yang buta dan tua renta. Daśaratha menjalankan permohonan terakhir tersebut dan menjelaskan kejadian yang terjadi kepada kedua orangtua si pemuda. Daśaratha juga meminta maaf di hadapan mereka.
Sejarah dan Ringkasan Cerita Ramayana Asli |
Daśaratha memiliki tiga permaisuri, yaitu Kauśalyā, Sumitrā, dan Kaikeyī. Lama setelah pernikahannya, Daśaratha belum juga dikaruniai anak. Akhirnya ia mengadakan Yajña (ritual suci) yang dipimpin Ṛsī Srengga. Dari upacara tersebut, Daśaratha memperoleh payasam berisi air suci untuk diminum oleh para permaisurinya. Kauśalyā dan Kaikeyī minum seteguk, sedangkan Sumitrā meminum dua kali sampai habis.
Beberapa bulan kemudian, suara tangis bayi menyemarakkan istana. Yang pertama melahirkan putra adalah Kauśalyā, dan putranya diberi nama Rāmā. Yang kedua adalah Kaikeyī, melahirkan putra mungil yang diberi nama Bharata. Yang ketiga adalah Sumitrā, melahirkan putra kembar dan diberi nama Lakṣmana dan Satrugṇa.
Kauśalyā adalah istri pertama Daśaratha dari Kerajaan Kosala yang melahirkan Śrī Rāmā. Sumitrā adalah salah seorang istri Prabu Dasaratha dan merupakan ibu dari Lakṣamaṇa dan Satrugṇa. Kaikeyī atau Kekayi adalah permaisuri Raja Daśaratha dalam wiracarita Rāmāyana. Ia merupakan wanita ketiga yang dinikahi Daśaratha setelah dua permaisurinya yang lain tidak mampu memiliki putra. Pada saat Daśaratha meminang dirinya, ayah Kaikeyī membuat perjanjian dengan Daśaratha bahwa putra yang dilahirkan oleh Kaikeyī harus menjadi raja. Daśaratha menyetujui perjanjian tersebut karena dua permaisurinya yang lain tidak mampu melahirkan putra. Namun setelah menikah dan hidup lama, Kaikeyī belum melahirkan putra. Setelah Daśaratha melakukan upacara besar, akhirnya Kaikeyī dan premaisurinya yang lain mendapatkan keturunan. Kaikeyī melahirkan seorang putra bernama Bharata.
Pada suatu ketika di sebuah pertempuran, roda kereta perang Daśaratha pecah. Dalam masa-masa genting tersebut, Kaikeyī yang berada di sana datang menyelamatkan Daśaratha serta memperbaiki kereta tersebut sampai bisa dipakai lagi. Karena terharu oleh pertolongan Kaikeyī, Daśaratha mempersilakan Kaikeyī untuk mengajukan tiga permohonan. Namun Kaikeyī menolak karena ia ingin menagih janji tersebut pada saat yang tepat. Sebagai istri yang paling muda, Kaikeyī merasa cemas apabila Daśaratha kurang mencintainya dibandingkan dua istrinya yang lain.
Saat Rāmā hendak dinobatkan menjadi raja, pelayan Kaikeyī yang bernama Mantara datang dan menghasut Kaikeyī agar mengangkat Bharata menjadi Raja sekaligus menyingkirkan Rāmā ke hutan selama 14 tahun. Dengan mengangkat Bharata menjadi raja, Mantara berharap bahwa Kaikeyī akan menjadi ibu suri dan statusnya berada di atas permaisuri yang lain. Kaikeyī menolak usul Mantara karena ia tahu bahwa Rāmā lebih pantas menjadi raja, dan setelah itu Bharata akan menggantikannya.
Mendengar alasan Kaikeyī, Mantara berkata bahwa tidak ada alasan bagi Bharata untuk menjadi raja menggantikan Rāmā karena jika Rāmā menjadi raja sampai akhir hayatnya, maka tidak ada kesempatan bagi Bharata untuk menggantikannya karena tahta diserahkan kepada keturunan Rāmā. Setelah Mantara menghasut Kaikeyī dengan berbagai alasan, Kaikeyī mengambil tindakan. Ia menemui Raja Daśaratha dan meminta dua permohonan sesuai dengan kesempatan yang telah diberikan sebelumnya. Pertama ia memohon Bharata untuk menjadi raja, dan yang kedua ia memohon agar Rāmā diasingkan ke hutan. Dengan berat hati, Raja Daśaratha memenuhi permohonan tersebut, namun tak lama kemudian ia wafat dalam keadaan sakit hati.
Ayah Rāmā adalah Raja Daśaratha dari Ayodhyā, sedangkan ibunya adalah Kauśalyā. Dalam Rāmāyana diceritakan bahwa Raja Daśaratha yang merindukan putra mengadakan upacara bagi para dewa, upacara yang disebut Putrakama Yajña. Upacaranya diterima oleh para Dewa dan utusan mereka memberikan sebuah air suci agar diminum oleh setiap permaisurinya. Atas anugerah tersebut, ketiga permaisuri Raja Daśaratha melahirkan putra. Yang tertua bernama Rāmā, lahir dari Kauśalyā.
Yang kedua adalah Bharata, lahir dari Kaikeyī, dan yang terakhir adalah Lakṣmaṇa dan Satrugṇa, lahir dari Sumitrā. Keempat pangeran tersebut tumbuh menjadi putra yang gagah-gagah dan terampil memainkan senjata di bawah bimbingan Rsi Wasista.
Pada suatu hari, Rsi Visvamitra datang menghadap Raja Daśaratha. Daśaratha tahu benar watak Ṛsī tersebut dan berjanji akan mengabulkan permohonannya sebisa mungkin. Akhirnya Sang Ṛsī mengutarakan permohonannya, yaitu meminta bantuan Rāmā untuk mengusir para raksasa yang mengganggu ketenangan para Ṛsī di hutan. Mendengar permohonan tersebut, Raja Daśaratha sangat terkejut karena merasa tidak sanggup untuk mengabulkannya, namun ia juga takut terhadap kutukan Ṛsī Visvamitra.
Daśaratha merasa anaknya masih terlalu muda untuk menghadapi para raksasa, namun Ṛsī Visvamitra menjamin keselamatan Rāmā. Setelah melalui perdebatan dan pergolakan dalam batin, Daśaratha mengabulkan permohonan Ṛsī Visvamitra dan mengizinkan putranya untuk membantu para Ṛsī.
Di tengah hutan, Rāmā dan Lakṣmana memperoleh mantra sakti dari Ṛsī Visvamitra, yaitu bala dan atibala. Setelah itu, mereka menempuh perjalanan menuju kediaman para Ṛsī di Sidhasrama. Sebelum tiba di Sidhasrama, Rāmā, Lakṣmana, dan Ṛsī Visvamitra melewati hutan Dandaka. Di hutan tersebut, Rāmā mengalahkan rakshasi Tataka dan membunuhnya. Setelah melewati hutan Dandaka, Rāmā sampai di Sidhasrama bersama Lakṣmana dan Ṛsī Visvamitra.
Di sana, Rāmā dan Lakṣmana melindungi para Ṛsī dan berjanji akan mengalahkan raksasa yang ingin mengotori pelaksanaan Yajña yang dilakukan oleh para Ṛsī. Saat raksasa Marica dan Subahu datang untuk megotori sesajen dengan darah dan daging mentah, Rāmā dan Lakṣmana tidak tinggal diam. Atas permohonan Rāmā, nyawa Marica diampuni oleh Lakṣmana, sedangkan untuk Subahu, Rāmā tidak memberi ampun. Dengan senjata Agni Astra atau Panah Api, Rāmā membakar tubuh Subahu sampai menjadi abu. Setelah Rāmā membunuh Subahu, pelaksanaan Yajña berlangsung dengan lancar dan aman.
Dalam bahasa Sansekerta, kata Sītā bermakna “kerut”. Kata “kerut” merupakan istilah puitis pada zaman India Kuno, yang menggambarkan aroma dari kesuburan.
Nama Sītā dalam Rāmāyana kemungkinan berasal dari Dewi Sītā, yang pernah disebutkan dalam Ṛgveda sebagai dewi bumi yang memberkati ladang dengan hasil panen yang bermutu. Seperti tokoh terkenal dalam legenda Hindu lainnya, Sītā juga dikenal dengan banyak nama. Sebagai puteri Raja Janaka, ia dipanggil Janaki; sebagai putri Mithila, ia dipanggil Maithili; sebagai istri Raama, ia dipanggil Rāmāa. Karena berasal dari Kerajaan Wideha, ia pun juga dikenal dengan nama Waidehi. Suatu ketika Kerajaan Wideha dilanda kelaparan. Janaka sebagai raja melakukan upacara atau Yajña di suatu area ladang antara lain dengan cara membajak tanahnya.
Ternyata mata bajak Janaka membentur sebuah peti yang berisi bayi perempuan. Bayi itu dipungutnya menjadi anak angkat dan dianggap sebagai titipan Pertiwi, dewi bumi dan kesuburan. Sītā dibesarkan di istana Mithila, ibu kota Wideha oleh Janaka dan Sunayana, permaisurinya. Setelah usianya menginjak dewasa, Janaka pun mengadakansebuah sayembara untuk menemukan pasangan yang tepat bagi putrinya itu. Sayembara tersebut adalah membentangkan busur pusaka maha berat anugerah Dewa Siwa, dan dimenangkan oleh Śrī Rāmā, seorang pangeran dari Kerajaan Kosala. Setelah menikah, Sītā pun tinggal bersama suaminya di Ayodhyā, ibu kota Kosala.
Visvamitra mendengar adanya sebuah sayembara di Mithila demi memperebutkan Dewi Sītā. Ia mengajak Rāmā dan Lakṣmana untuk mengikuti sayembara tersebut. Mereka menyanggupinya. Setibanya di sana, Rāmā melihat bahwa tidak ada orang yang mampu memenuhi persyaratan untuk menikahi Sītā, yaitu mengangkat serta membengkokkan busur Siwa. Namun saat Rāmā tampil ke muka, ia tidak hanya mampu mengangkat serta membengkokkan busur Siwa, namun juga mematahkannya menjadi tiga. Saat busur itu dipatahkan, suaranya besar dan menggelegar seperti guruh. Melihat kemampuan istimewa tersebut, ayah Sītā yaitu Raja Janaka, memutuskan agar Rāmā menjadi menantunya. Sītā pun senang mendapatkan suami seperti Rāmā.
Kemudian utusan dikirim ke Ayodhyā untuk memberitahu kabar baik tersebut. Raja Daśaratha girang mendengar putranya sudah mendapatkan istri di Mithila, kemudian ia segera berangkat ke sana. Setelah menyaksikan upacara pernikahan Rāmā dan Sītā, Visvamitra mohon pamit untuk melanjutkan tapa di Gunung Himalaya, sementara Daśaratha pulang ke Ayodhyā diikuti oleh Ṛsī Wasistha serta pengiring-pengiringnya. Di tengah jalan, mereka berjumpa dengan Ṛsī Parasu Rāmā, yaitu brahmana sakti yang ditakuti para ksatria. Parasu Rāmā memegang sebuah busur di bahunya yang konon merupakan busur Wisnu. Ia sudah mendengar kabar bahwa Rāmā telah mematahkan busur Siwa.
Dengan wajah yang sangar, ia menantang Rāmā untuk membengkokkan busur Wisnu. Rāmā menerima tantangan tersebut dan membengkokkan busur Wisnu dengan mudah. Melihat busur itu dibengkokkan dengan mudah, seketika raut wajah Parasu Rāmā menjadi lemah lembut. Rāmā berkata, “Panah Waisnawa ini harus mendapatkan mangsa. Apakah panah ini harus menghancurkan kekuatan Tuan atau hasil tapa Tuan?”. Parasu Rāmā menjawab agar panah itu menghancurkan hasil tapanya, karena ia hendak merintis hasil tapanya dari awal kembali. Setelah itu, Parasu Rāmā mohon pamit dan pergi ke Gunung Mahendra.
Ayodhyākāṇḍa adalah kitab kedua epos Rāmāyana dan menceritakan sang Daśaratha yang akan menyerahkan kerajaan kepada sang Rāmā, tetapi dihalangi oleh Dewi Kaikeyī. Katanya beliau pernah menjanjikan warisan kerajaan kepada anaknya. Maka sang Rāmā disertai oleh Dewi Sītā dan Lakṣamaṇa pergi mengembara dan masuk ke dalam hutan selama 14 tahun. Setelah mereka pergi, maka Prabu Daśaratha meninggal karena sedihnya. Sementara Rāmā pergi, Bharata baru saja pulang dari rumah pamannya dan tiba di Ayodhyā. Ia mendapati bahwa ayahnya telah wafat serta Rāmā tidak ada di istana.
Kaikeyī menjelaskan bahwa Bharatalah yang kini menjadi raja, sementara Rāmā mengasingkan diri ke hutan. Bharata menjadi sedih mendengarnya, kemudian menyusul Rāmā. Harapan Kaikeyī untuk melihat putranya senang menjadi raja ternyata sia-sia.
Di dalam hutan, Bharata mencari Rāmā dan memberi berita duka karena Prabu Daśaratha telah wafat. Ia membujuk Rāmā agar kembali ke Ayodhyā untuk menjadi raja. Rakyat juga mendesak demikian, namun Rāmā menolak karena ia terikat oleh perintah ayahnya. Untuk menunjukkan jalan yang benar, Rāmā menguraikan ajaran-ajaran agama kepada Bharata. Rāmā menyerahkan sandalnya (dalam bahasa Sanskeṛta: paduka). Akhirnya Bharata membawa sandal milik Rāmā dan meletakkannya di singasana. Dengan lambang tersebut, ia memerintah Ayodhyā atas nama Rāmā.
Rāmā atau Rāmācandra adalah seorang raja legendaries konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhyā. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang disebut Rāmāyana, tersebar dari Asia Selatan sampai Asia Tenggara.
Terlahir sebagai putra sulung dari pasangan Raja Daśaratha dengan Kauśalyā, ia dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang artinya “Manusia Sempurna”. Setelah dewasa, Rāmā memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi Sītā, inkarnasi dari Dewi Lakṣmi. Rāmā memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lava.
Dalam wiracarita Rāmāyana diceritakan bahwa sebelum Rāmā lahir, seorang raja raksasa bernama Rāvaṇa telah meneror Triloka (tiga dunia) sehingga membuat para dewa merasa cemas. Atas hal tersebut, Dewi bumi menghadap Brahma agar beliau bersedia menyelamatkan alam beserta isinya. Para dewa juga mengeluh kepada Brahma, yang telah memberikan anugerah kepada Rāvaṇa sehingga raksasa tersebut menjadi takabur. Setelah para dewa bersidang, mereka memohon agar Wisnu bersedia menjelma kembali ke dunia untuk menegakkan dharma serta menyelamatkan orang-orang saleh.
Dewa Wisnu menyatakan bahwa ia bersedia melakukannya. Ia berjanji akan turun ke dunia sebagai Rāmā, putra raja Daśaratha dari Ayodhyā. Dalam penjelmaannya ke dunia, Wisnu ditemani oleh Naga Sesa yang akan mengambil peran sebagai Lakṣmana, serta Lakṣmi yang akan mengambil peran sebagai Sītā.
Ibu Rāvaṇa bernama Kaikesi, seorang puteri Raja Detya bernama Sumali. Sumali memperoleh anugerah dari Brahma sehingga ia mampu menaklukkan para raja dunia. Sumali berpesan kepada Kekasi agar ia menikah dengan orang yang istimewa di dunia. Di antara para Ṛsī, Kekasi memilih Visrava sebagai pasangannya. Visvara memperingati Kekasi bahwa bercinta di waktu yang tak tepat akan membuat anak mereka menjadi jahat, namun Kekasi menerimanya meskipun diperingatkan demikian.
Akhirnya, Rāvaṇa lahir dengan kepribadian setengah brahmana, setengah raksasa. Saat lahir, Rāvaṇa diberi nama “Dasanana” atau “Dasagriwa”, dan konon ia memiliki sepuluh kepala. Beberapa alasan menjelaskan bahwa sepuluh kepala tersebut adalah pantulan dari permata pada kalung yang diberikan ayahnya sewaktu lahir, atau ada yang menjelaskan bahwa sepuluh kepala tersebut adalah simbol bahwa Rāvaṇa memiliki kekuatan sepuluh tokoh tertentu.
Saat masih muda, Rāvaṇa mengadakan tapa memuja Dewa Brahma selama bertahun-tahun. Karena berkenan dengan pemujaannya, Brahma muncul dan mempersilakan Rāvaṇa mengajukan permohonan. Mendapat kesempatan tersebut, Rāvaṇa memohon agar ia hidup abadi, namun permohonan tersebut ditolak oleh Brahma. Sebagai gantinya, Rāvaṇa memohon agar ia kebal terhadap segala serangan dan selalu unggul di antara para dewa, makhluk surgawi, raksasa, detya, danawa, segala naga dan makhluk buas. Karena menganggap remeh manusia, ia tidak memohon agar unggul terhadap mereka. Mendengar permohonan tersebut, Brahma mengabulkannya, dan menambahkan kepandaian menggunakan senjata dewa dan ilmu sihir.
Setelah memperoleh anugerah Brahma, Rāvaṇa mencari kakeknya, Sumali, dan memintanya kuasa untuk memimpin tentaranya. Kemudian ia melancarkan serangannya menuju Alengka. Alengka merupakan kota yang permai, diciptakan oleh seorang arsitek para dewa bernama Wiswakarma untuk Kubera, Dewa kekayaan.
Kubera juga merupakan putra Visvara, dan bermurah hati untuk membagi segala miliknya kepada anak-anak Kekasi. Namun Rāvaṇa menuntut agar seluruh Alengka menjadi miliknya, dan mengancam akan merebutnya dengan kekerasan. Visvara menasihati Kubera agar memberikannya, sebab sekarang Rāvaṇa tak tertandingi. Ketika Rāvaṇa merampas Alengka untuk memulai pemerintahannya, ia dipandang sebagai pemimpin yang sukses dan murah hati. Alengka berkembang di bawah pemerintahannya. Konon rumah yang paling miskin sekalipun memiliki kendaraan dari emas dan tidak ada kelaparan di kerajaan tersebut.
Setelah keberhasilannya di Alengka, Rāvaṇa mendatangi Dewa Siwa di kediamannya di gunung Kailasha. Tanpa disadari, Rāvaṇa mencoba mencabut gunung tersebut dan memindahkannya sambil main-main. Siwa yang merasa kesal dengan kesombongan Rāvaṇa, menekan Kailasha dengan jari kakinya, sehingga Rāvaṇa tertindih pada waktu itu juga. Kemudian Gana datang untuk memberitahu Rāvaṇa, pada siapa ia harus bertobat. Lalu Rāvaṇa menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Siwa, dan konon ia melakukannya selama bertahun-tahun, sampai Siwa membebaskannya dari hukuman. Terkesan dengan keberanian dan kesetiaannya, Siwa memberinya kekuatan tambahan, khususnya pemberian hadiah berupa Chandrahasa (pedang-bulan), pedang yang tak terkira kuatnya.
Selanjutnya Rāvaṇa menjadi pemuja Siwa seumur hidup. Rāvaṇa terkenal dengan tarian pemujaannya kepada Siwa yang bernama “Shiva Tandava Stotra”. Semenjak peristiwa tersebut ia memperoleh nama ‘Rāvaṇa’, berarti “(Ia) Yang raungannya dahsyat”, diberikan kepadanya oleh Siwa – konon bumi sempat berguncang saat Rāvaṇa menangis kesakitan karena ditindih gunung.
Dengan kekuatan yang diperolehnya, Rāvaṇa melakukan penyerangan untuk menaklukkan ras manusia, makhluk jahat (asura – rakshasa – detya – danawa), dan makhluk surgawi. Setelah menaklukkan Patala (dunia bawah tanah), ia mengangkat Ahirawan sebagai raja. Rāvaṇa sendiri menguasai ras asura di tiga dunia. Karena tidak mampu mengalahkan Wangsa Niwatakawaca dan Kalakeya, ia menjalin persahabatan dengan mereka. Setelah menaklukkan para raja dunia, ia mengadakan upacara yang layak dan dirinya diangkat sebagai Maharaja.
Oleh karena Kubera telah menghina tindakan Rāvaṇa yang kejam dan tamak, Rāvaṇa mengerahkan pasukannya menyerbu kediaman para dewa, dan menaklukkan banyak dewa. Lalu ia mencari Kubera dan menyiksanya secara khusus. Dengan kekuatannya, ia menaklukkan banyak dewa, makhluk surgawi, dan bangsa naga.
Selain terkenal sebagai penakluk tiga dunia, Rāvaṇa juga terkenal akan petualangannya menaklukkan para wanita. Rāvaṇa memiliki banyak istri, yang paling terkenal adalah Mandodari, putra Mayasura dengan seorang bidadari bernama Hema. Rāmāyana mendeskripsikan bahwa istana Rāvaṇa dipenuhi oleh para wanita cantik yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Dalam Rāmāyana juga dideskripsikan bahwa di Alengka, semua wanita merasa beruntung apabila Rāvaṇa menikahinya. Dua legenda terkenal menceritakan kisah pertemuan Rāvaṇa dengan wanita istimewa.
Wanita istimewa pertama adalah Vedawati, seorang pertapa wanita. Vedawati mengadakan pemujaan ke hadapan Wisnu agar ia diterima menjadi istrinya. Ketika Rāvaṇa melihat kecantikan Vedawati, hatinya terpikat dan ingin menikahinya. Ia meminta Vedawati untuk menghentikan pemujaannya dan ia merayu Vedawati agar bersedia untuk menikahinya. Karena Vedawati menolak, Rāvaṇa mencoba untuk melarikannya. Kemudian Vedawati bersumpah bahwa ia akan lahir kembali sebagai penyebab kematian Rāvaṇa. Setelah berkata demikian, Vedawati membuat api unggun dan menceburkan diri ke dalamnya. Bertahun-tahun kemudian ia bereinkarnasi sebagai Sītā, yang diculik oleh Rāvaṇa sehingga Rāmā turun tangan dan membunuh Rāvaṇa. Rāvaṇa memiliki banyak kerabat dan saudara yang disebutkan dalam Rāmāyana.
Karena sulit menemukan data-data mengenai mereka selain Rāmāyana, tidak banyak yang diketahui tentang mereka. Menurut Rāmāyana, ibu Rāvaṇa adalah puteri seorang Detya bernama Kekasi, menikahi seorang pertapa bernama Visvara. Rāvaṇa memiliki kakek bernama Pulastya, putra Brahma. Dari pihak ibunya, Rāvaṇa memiliki kakek bernama Sumali, dan ia memiliki paman bernama Marica, putra Tataka, saudara Malyawan. Rāvaṇa memiliki tiga istri dan tujuh putra. Tujuh putra Rāvaṇa yaitu: Indrajit alias Megananda, Prahasta, Atikaya, Aksa alias Aksayakumara, Dewantaka, Narantaka, dan Trisirah. Selain itu, Rāvaṇa memiliki enam saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Saudara-saudaranya tersebut terdiri atas tiga saudara kandung dan lima saudara tiri.
Saudara-saudara Rāvaṇa yaitu:
Kubera, kakak tiri Rāvaṇa, lain ibu namun satu ayah. Raja Alengka sebelum Rāvaṇa. Ia merupakan dewa penjaga arah utara, sekaligus dewa kekayaan.2. Kumbhakarṇa, adik kandung Rāvaṇa. Rakshasa yang tidur selama enam bulan dan bangun selama enam bulan karena anugerah Brahma.
- Vibhīsaṇa, adik kandung Rāvaṇa. Penasihat di Kerajaan Alengka.
- Kara, adik tiri Rāvaṇa. Raja dan pelindung perbatasan Alengka yang bernama Janasthan atau Yanasthana di Chitrakuta.
- Dusana, adik tiri Rāvaṇa. Patih di Yanasthana.
- Ahirāvaṇa, adik tiri Rāvaṇa. Raja di Patala.
- Kumbini, adik tiri Rāvaṇa. Istri rakshasa Madhu, ibu dari Lawanasura.
- Surpanaka, adik kandung Rāvaṇa. Rakshasi yang tinggal di Yanasthana, dilukai oleh Lakṣmana. Ia mengadu kepada Kara dan Rāvaṇa, dan merupakan biang keladi yang menyebabkan permusuhan antara Rāmā dan Rāvaṇa.
Sītā dan Lakṣmana yang setia turut mendampingi Rāmā. Sebagai putra yang berbakti, Rāmā pun menjalani keputusan itu dengan ikhlas. Sītā yang setia mengikuti perjalanan Rāmā, begitu pula adik Rāmā yang lahir dari ibu lain, yaitu Lakṣmana.
Ketiganya meninggalkan istana Ayodhyā untuk memulai hidup di dalam hutan. Di tengah hutan Dandaka, Rāmā mendirikan sebuah pondok kayu. Di dalam hutan belantara dan pegunungan, Rāmā, Sītā, dan Lakṣmana banyak bergaul dengan para pendeta dan brahmana sehingga menambah ilmu pengetahuan dan kepandaian mereka. Setiap hari Rāmā berburu binatang untuk persediaan makanan, sementara Lakṣamaṇa mencari buah-buahan. Sītā selain menyiapkan makanan, juga mencari kembang untuk keperluan upacara pemujaan. Rāmā amat gemar berburu rusa. Pulang dari perburuan, rusa itu disembelih lalu dagingnya diiris-iris dan dijemur agar kering. Sītā selalu menjaga daging rusa yang sedang dijemur itu. Tapi burung-burung gagak senantiasa mencium baunya. Beramai-ramai mereka menyambar jemuran daging itu hingga habis.
Pada suatu hari Rāmā tidak pergi berburu karena dia ingin tahu binatang apakah yang selalu mencuri dan menghabiskan jemuran dagingnya. Diapun mengintai. Ternyata burung-burung gagaklah yang mencurinya. Sambil berlindung Rāmā membidik burung-burung pencuri itu dengan panah. Satu persatu burung-burung pencuri itu terkena anak panah dan tubuhnya jatuh berserakan. Sejak itu jemuran daging Sītā tak ada lagi yang mencuri.
Tak berapa lama kemudian, Daśaratha wafat dalam kesedihan. Setelah Daśaratha wafat, Kaikeyī mulai menyesali tindakannya dan memarahi dirinya sendiri atas kematian Sang Raja. Rakyat Ayodhyā pun marah dan menghujat Kaikeyī. Bharata juga marah dan berkata bahwa ia tidak akan menyebut Kaikeyī sebagai ibunya lagi. Pelayan Kaikeyī yang bernama Mantara hendak dibunuh oleh Satrugṇa karena menghasut Kaikeyī dengan lidahnya yang tajam, namun ia diampuni oleh Rāmā.
Āraṇyakāṇḍa adalah kitab ke tiga epos Rāmāyana. Dalam kitab ini diceritakanlah bagaimana sang Rāmā dan Lakṣamaṇa membantu para tapa di sebuah asrama mengusir sekalian raksasa yang datang mengganggu.
Selama masa pembuangan, Lakṣmana membuat pondok untuk Rāmā dan Sītā. Ia juga melindungi mereka di saat malam sambil berbincang-bincang dengan para pemburu di hutan. Saat menjalani masa pengasingan di hutan, Rāmā dan Lakṣmana didatangi seorang rakshasi bernama Surpanaka. Ia mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik dan menggoda Rāmā dan Lakṣmana. Rāmā menolak untuk menikahinya dengan alasan bahwa ia sudah beristri, maka ia menyuruh agar Surpanaka membujuk Lakṣmana, namun Lakṣmana pun menolak. Surpanaka iri melihat kecantikan Sītā dan hendak membunuhnya. Dengan sigap Rāmā melindungi Sītā dan Lakṣmana mengarahkan pedangnya kepada Surpanaka yang hendak menyergapnya. Hal itu membuat hidung Surpanaka terluka. Surpanaka mengadukan peristiwa tersebut kepada kakaknya yang bernama Kara. Kara marah terhadap Rāmā yang telah melukai adiknya dan hendak membalas dendam.
Dengan angkatan perang yang luar biasa, Kara dan sekutunya menggempur Rāmā, namun mereka semua gugur. Akhirnya Surpanaka melaporkan keluhannya kepada Rāvaṇa di Kerajaan Alengka. Surpanaka mengadu kakaknya sang Rāvaṇa sembari memprovokasinya untuk menculik Dewi Sītā yang katanya sangat cantik. Sang Rāvaṇapun pergi diiringi oleh Marica. Marica menyamar menjadi seekor kijang emas yang menggoda Dewi Sītā. Dewi Sītā tertarik dan meminta Rāmā untuk menangkapnya.
Pada suatu hari, Sītā melihat seekor kijang yang sangat lucu sedang melompat-lompat di halaman pondoknya. Rāmā dan Lakṣmana merasa bahwa kijang tersebut bukan kijang biasa, namun atas desakan Sītā, Rāmā memburu kijang tersebut sementara Lakṣmana ditugaskan untuk menjaga Sītā. Dewi Sītā ditinggalkannya dan dijaga oleh Lakṣamaṇa. Rāmāpun pergi memburunya, tetapi si Marica sangat gesit. Kijang yang diburu Rāmā terus mengantarkannya ke tengah hutan.
Karena Rāmā merasa bahwa kijang tersebut bukan kijang biasa, ia memanahnya. Seketika hewan tersebut berubah menjadi Marica, patih Sang Rāvaṇa. Saat Rāmā memanah kijang kencana tersebut, hewan itu berubah menjadi rakshasa Marica, dan mengerang dengan suara keras. Sītā yang merasa cemas, menyuruh Lakṣmana agar menyusul kakaknya ke hutan. Karena teguh dengan tugasnya untuk melindungi Sītā, Lakṣmana menolak secara halus.
Kemudian Sītā berprasangka bahwa Lakṣmana memang ingin membiarkan kakaknya mati di hutan sehingga apabila Sītā menjadi janda, maka Lakṣmana akan menikahinya. Mendengar perkataan Sītā, Lakṣmana menjadi sakit hati dan bersedia menyusul Rāmā, namun sebelumnya ia membuat garis pelindung dengan anak panahnya agar makhluk jahat tidak mampu meraih Sītā. Garis pelindung tersebut bernama Lakṣmana Rekha, dan sangat ampuh melindungi seseorang yang berada di dalamnya, selama ia tidak keluar dari garis tersebut.
Saat Lakṣmana meinggalkan Sītā sendirian, raksasa Rāvaṇa yang menyamar sebagai seorang brahmana muncul dan meminta sedikit air kepada Sītā. Karena Rāvaṇa tidak mampu meraih Sītā yang berada dalam Lakshmana Rekha, maka ia meminta agar Sītā mengulurkan tangannya. Pada saat tangan Rāvaṇa memegang tangan Sītā, ia segera menarik Sītā keluar dari garis pelindung dan menculiknya. Lakṣmana menyusul Rāmā ke hutan, Rāmā terkejut karena Sītā ditinggal sendirian. Ketika mereka berdua pulang, Sītā sudah tidak ada. Rāvaṇa bertemu dengan seekor burung sakti sang Jatayu tetapi Jatayu kalah dan sekarat. Lakṣamaṇa yang sudah menemukan Rāmā menjumpai Jatayu yang menceritakan kisahnya sebelum ia mati.
Menurut kitab Purana, Lakṣmana merupakan penitisan Sesa. Shesha adalah ular yang mengabdi kepada Dewa Wisnu dan menjadi ranjang ketika Wisnu beristirahat di lautan susu. Shesha menitis pada setiap awatara Wisnu dan menjadi pendamping setianya.
Dalam Rāmāyana, ia menitis kepada Lakṣmana sedangkan dalam Mahabharata, ia menitis kepada Baladewa. Lakṣmana merupakan putra ketiga Raja Daśaratha yang bertahta di kerajaan Kosala, dengan ibukota Ayodhyā. Kakak sulungnya bernama Rāmā, kakak keduanya bernama Bharata, dan adiknya sekaligus kembarannya bernama Satrugṇa. Di antara saudara-saudaranya, Lakṣmana memiliki hubungan yang sangat dekat terhadap Rāmā. Mereka bagaikan duet yang tak terpisahkan. Ketika Rāmā menikah dengan Sītā, Lakṣmana juga menikahi adik Dewi Sītā yang bernama Urmila.
Meskipun keempat putra Raja Daśaratha saling menyayangi satu sama lain, namun Satrugṇa lebih cenderung dekat terhadap Bharata, sedangkan Lakṣmana cenderung dekat terhadap Rāmā. Saat Ṛsī Visvamitra datang meminta bantuan Rāmā agar mengusir para raksasa di hutan Dandaka, Lakṣmana turut serta dan menambah pengalaman bersama kakaknya. Di hutan mereka membunuh banyak raksasa dan melindungi para Ṛsī. Bisa dikatakan bahwa Lakṣmana selalu berada di sisi Rāmā dan selalu berbakti kepadanya dalam setiap petualangan Rāmā dalam Rāmāyana.
Saat Rāmā dibuang ke hutan karena tuntutan permaisuri Kaikeyī, Lakṣmana mengikutinya bersama Sītā. Ketika Bharata datang menyusul Rāmā ke dalam hutan dengan angkatan perang Ayodhyā, Lakṣmana mencurigai kedatangan Bharata dan bersiap-siap untuk melakukan serangan. Rāmā yang mengetahui maksud kedatangan Bharata menyuruh Lakṣmana agar menahan nafsunya dan menjelaskan bahwa Bharata tidak mungkin menyerang mereka di hutan, malah sebaliknya Bharata ingin agar Rāmā kembali ke Ayodhyā. Setelah mendengar penjelasan Rāmā, Lakṣmana menjadi sadar dan malu.
Sesampainya di istana Kerajaan Alengka yang terletak di kota Trikuta, Sītā pun ditawan di dalam sebuah taman yang sangat indah, bernama Taman Asoka. Di sekelilingnya ditempatkan para raksasi yang bermuka buruk dan bersifat jahat namun dungu. Selama ditawan di istana Alengka, Sītā selalu berdoa dan berharap Rāmā datang menolongnya. Pada suatu hari muncul seekor Wanara datang menemuinya. Ia mengaku bernama Hanumān, utusan Śrī Rāmā. Sebagai bukti Hanumān menyerahkan cincin milik Sītā yang dulu dibuangnya di hutan ketika ia diculik Rāvaṇa. Cincin tersebut telah ditemukan oleh Rāmā. Hanumān membujuk Sītā supaya bersedia meninggalkan Alengka bersama dirinya. Sītā menolak karena ia ingin Rāmā yang datang sendiri ke Alengka untuk merebutnya dari tangan Rāvaṇa dengan gagah berani. Hanumān dimintanya untuk kembali dan menyampaikan hal itu.
Sejarah dan Ringkasan Cerita Ramayana Asli (2)
0 komentar
Posting Komentar