Pengertian, Hukum, Rukun dan Syarat Wakaf

>
Pengertian, Hukum, Rukun dan Syarat Wakaf - Meningkatnya orang-orang kaya muslim tentu saja perlu mendapat apresiasi dari semua kalangan. Hal tersebut diharapkan mampu menjadi solusi dari sebagian lain masyarakat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Betapa tidak, dari mereka diharapkan terjadi jembatan penghubung antara orang-orang kaya (agniya) dengan oranag-orang miskin (kaum du’afa). Tentu saja dengan posisi mereka sebagai pengusaha muslim akan diperoleh sekian banyak kontribusi dalam upaya membantu mereka yang masih sangat membutuhkan. Dana yang terkumpul tersebut, baik berupa zakat mal, infak, śadaqah, atau wakaf akan sangat berarti dalam upaya membantu kaum fakir miskin.

Pengertian, Hukum, Rukun dan Syarat Wakaf

Demikian itu karena sesungguhnya Islam membenci berputarnya kekayaan di tangan orang-orang tertentu saja, sementara sebagian besar orang tidak memilikinya. Islam senang kalau harta itu tidak hanya berkisar pada orang-orang kaya saja. Sistem ekonomi Islam merupakan suatu sistem yang indah, yang membawa keseimbangan dan keharmonisan antara kepentingan individu dan kepentingan kolektif yang membawa misi kebersamaan agar jurang pemisah antara agniya (orang kaya) tidak terlalu jauh dengan kaum du’afa (orang miskin).

Ajaran Islam mengisyaratkan untuk melakukan upaya pemberdayaan ekonomi umat yang harus diproyeksikan untuk kesejahteraan bersama, bukan hanya untuk kepentingan pribadi. Prinsip tersebut salah satunya bisa diaplikasikan melalui pengelolaan wakaf yang amanah dan profesional agar pahalanya terus mengalir meskipun wakif (orang yang mengeluarkan wakaf) tersebut telah meninggal dunia.

Pengertian, Hukum, Rukun dan Syarat Wakaf
Pengertian, Hukum, Rukun dan Syarat Wakaf
Keberadaan orang-orang yang memiliki kecukupan harta di tengah-tengah masyarakat dan orang-orang miskin sesungguhnya merupakan hukum alam (sunatullah). Allah Swt. memang mengaruniakan sebagian dari manusia menjadi orang-orang kaya dan berkedudukan tinggi. Namun demikian, bukan berarti kakayaan yang mereka peroleh itu adalah pemberian Allah Swt. yang datang tibatiba, tetapi disertai dengan usaha keras tanpa lelah.

Jika saja keberadaan orang-orang kaya tersebut benar-benar melaksanakan ajaran Islam, terutama anjuran berwakaf, bisa dipastikan problem-problem kemasyarakatan seperti kekurangan sarana pendidikan, tempat pembuangan sampah, sarana ibadah, sarana kesehatan dan lainnya akan dengan mudah dapat diatasi. Wakaf berupa tempat-tempat atau sarana-sarana umum yang dibutuhkan masyarakat akan mampu menciptakan kondisi masyarakat yang sehat, damai, dan sejahtera.

Di atas semua itu, apakah fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita sudah sesuai dengan apa yang diharapkan sesuai dengan idealisme di atas? Dengan kata lain, apakah orang-orang kaya sudah menyalurkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat atau wakaf? Jika jawabannya belum, bagaimana upaya yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, tokoh masyarakat, ataupun para ulama?

Memahami Makna Wakaf sebagai Syari’at Islam

1. Pengertian Wakaf

Secara bahasa, wakaf berasal dari bahasa Arab yang artinya menahan (alhabs) dan mencegah (al-man’u). Maksudnya adalah menahan untuk tidak dijual, tidak dihadiahkan, atau diwariskan. Wakaf menurut istilah syar’i adalah suatu ungkapan yang mengandung penahanan harta miliknya kepada orang lain atau lembaga dengan cara menyerahkan suatu benda yang kekal zatnya untuk diambil manfaatnya oleh masyarakat. Contohnya adalah seseorang yang mewakafkan tanahnya untuk lahan pemakaman umum. Maka tanah yang sudah diwakafkan tersebut tidak boleh ditarik kembali, dijual, diwariskan, atau dihadiahkan kepada orang lain.

Wakaf termasuk amal ibadah yang sangat mulia dan dianjurkan oleh Allah Swt. Dalam Q.S. ali Imran/3:92 Allah Swt. berfirman:
Q.S. ali Imran/3:92

Artinya: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Swt. Maha Mengetahui.”

Wakaf termasuk amal ibadah yang belum banyak diamalkan. Hal tersebut disebabkan karena biasanya wakaf berupa harta yang dicintai, seperti tanah, bangunan, atau benda lainnya. Padahal, jika seseorang mengetahui betapa besar pahala yang akan diraihnya dengan berwakaf, boleh jadi orang akan berbondong-bondong melakukan wakaf meski sekadar satu meter tanah.

Wakaf merupakan amal jariah yang pahalanya akan terus mengalir sampai orang yang mewakafkannya meninggal dunia. Artinya, ia akan tetap menerima pahala dari amal jariyahnya selama wakafnya dimanfaatkan oleh orang lain. Wakaf memiliki dua tujuan, yaitu hubungan horizontal, yaitu mengentaskan kemiskinan dan hubungan vertikal, yaitu pendekatan pada Allah Swt.

Dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah dijelaskan, bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya berupa tanah milik dan melembagakan selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam. Menurut Jaih Mubarok, dari definisi tersebut memperlihatkan tiga hal, berikut.
  • Wakif atau pihak yang mewakafkan secara perorangan atau badan hukum seperti perusahaan atau organisasi kemasyarakatan.
  • Pemisahan tanah milik belum menunjukkan pemindahan kepemilikian tanah milik yang diwakafkan.
  • Tanah wakaf digunakan untuk kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam.

2. Hukum Wakaf

Hukum wakaf adalah sunnah. Wakaf sebagai amaliyah sunnah yang sangat besar manfaatnya bagi wakif, yaitu sebagai śadaqah jariyah. Berdasarkan dalil-dalil wakaf bagi keperluan umat, wakaf merupakan perbuatan yang terpuji dan sangat dianjurkan oleh Islam.

Suatu ibadah dinilai sah apabila terdapat perintah dari Allah Swt. dan Rasulullah saw. Demikian halnya dengan syari’at atau ajaran wakaf. Berikut adalah beberapa dalil yang menjadi dasar tentang diperintahkannya wakaf, di antaranya seperti berikut.

a. Q.S. Āli ‘Imrān/3:92
Q.S. ali Imran 3 92
Q.S. ali Imran/3:92

Artinya: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Swt. Maha Mengetahui”. (QS. Āli ‘Imrān/3:92 )

b. Hadis Rasulullah saw. riwayat Bukhari da Muslim
Apabila seseorang meninggal, maka amalannya terputus kecuali dari tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya
Apabila seseorang meninggal, maka amalannya terputus kecuali dari tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya

Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang meninggal, maka amalannya terputus kecuali dari tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Mengenai śadaqah jariyah pada hadis di atas, ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan śadaqah jariyah dalam hadis tersebut adalah wakaf.

c. Hadis Rasulullah saw. riwayat Bukhari

Hendaklah śhadaqahkanlah asalnya yang tidak boleh dijual dihibahkan, dan diwariskan akan tetapi hendaklah nafkahkan buahnya
Artinya: 'Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra.', “Sesunguhnya Umar Ibn al Khatthab memiliki tanah yang dinamakan dengan ¢amgun yang ada kurma yang indah sekali. Umar berkata, “Ya RasulAllah Swt. saya ingin memanfaatkan hartaku yang sangat baik, apakah saya mau menśhadaqahkannya? Nabi dihibahkan, dan diwariskan akan tetapi hendaklah nafkahkan buahnya.” (H.R. Bukhari)

Berdasarkan dalil Al-Qur’ān dan hadis-hadis di atas, ditegaskan bahwa orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt., maka sepantasnya harus memilih hartanya yang paling baik untuk diwakafkan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Khattab ra. Umat Islam berbeda pendapat tentang awal diberlakukannya wakaf. Menurut kaum Muhajirin, bahwa wakaf pertama kali diberlakukan pada zaman Umar ibn Khattab dan dimulai Nabi Muhammad saw. sendiri.

Sementara menurut kaum Anśar, wakaf pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad saw., sebagaimana dalam kitab Magazi al-Waqidi dikatakan bahwa sedekah yang berupa wakaf dalam Islam yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. sendiri adalah sebidang tanah untuk dibangun masjid. Dengan demikian, dasar wakaf bukan hanya berupa ucapan Nabi (qaul al-nabi), tetapi juga praktik Nabi Muhammad saw. sendiri (fi’il al-nabi).

Menurut al-Qurtubi, seluruh sahabat Nabi pernah mempraktikkan wakaf di Mekah dan Madinah, seperti Abu Bakar, Umar bin al-Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Aisyah, Fatimah, Zubair, Amr bin Ash, dan Jabir. Menurut Imam Syafi’i dalam qaul qadimnya bahwa sekitar delapan puluh sahabat Nabi dari kaum Anśar mempraktikkan sedekah muharramat yang disebut wakaf dan seluruh sahabat Nabi melakukan wakaf serta tidak seorang pun yang tidak mengetahuinya. Dengan demikian, wakaf memiliki dasar yang kuat mulai dari al-Qur’ān yang bersifat global (mujmal), perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad saw., dan perilaku sahabat Nabi Muhammad saw.

3. Rukun dan Syarat Wakaf

Adapun rukun wakaf ada empat, seperti berikut.
a. Orang yang berwakaf (al-wakif), dengan syarat-syarat sebagai berikut.
  1. Memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada siapa yang ia kehendaki.
  2. Berakal, tidak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk.
  3. Balig.
  4. Mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang bangkrut (muflis) dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
b. Benda yang diwakafkan (al-mauquf), dengan syarat-syarat sebagai berikut.
  1. Barang yang diwakafkan itu harus barang yang berharga.
  2. Harta yang diwakafkan itu harus diketahui kadarnya. Jadi, apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), pengalihan milik pada ketika itu tidak sah.
  3. Harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif).
  4. Harta itu harus berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah gaira śai’.
c. Orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi) atau sekelompok orang/badan hukum yang disertai tugas mengurus dan memelihara barang wakaf (nazir). Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, yaitu seperti berikut.
  1. Tertentu (mu’ayyan), yaitu jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang, atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh diubah. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia adalah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik). Maka, orang muslim, merdeka dan kafir zimni (non muslim yang bersahabat) yang memenuhi syarat ini, boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf.
  2. Tidak tertentu (gaira mu’ayyan), yaitu tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dan lain-lain. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan, yaitu bahwa yang akan menerima wakaf itu hendaklah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.
d. Lafaz atau ikrar wakaf (sigat), dengan syarat-syarat sebagai berikut.
  1. Ucapan itu harus mengandung kata-kata yang menunjukkan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu.
  2. Ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu.
  3. Ucapan itu bersifat pasti.
  4. Ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan.
Apabila semua persyaratan di atas dapat terpenuhi, penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf (wakif) tidak dapat lagi menarik balik kepemilikan harta itu karena telah berpindah kepada Allah Swt. dan penguasaan harta tersebut berpindah kepada orang yang menerima wakaf (nazir). Secara umum, penerima wakaf (nazir) dianggap pemiliknya tetapi bersifat tidak penuh (gaira tammah).

0 komentar

Posting Komentar