Hakikat dan Sifat Dasar Manusia

>

Manusia Makhluk Termulia

Xunzi, salah seorang filsuf Neo Confusianisme mengatakan: “Air dan api punya Qi tetapi tidak punya kehidupan. Rumput dan pohon hidup, tetapi tidak punya perasaan. Hewan dan unggas punya perasaan, tetapi tidak tahu kebenaran. Manusia punya Qi, punya nyawa, punya perasaan dan tahu akan kebenaran, termulialah dia. Tenaga tak sebanding kerbau, lari tak secepat kuda, tetapi kerbau dan kuda dipakai oleh manusia.

Kata-kata Xunzi menyiratkan makna bahwa manusia bukanlah hewan yang sedang dalam proses evolusi seperti yang diteorikan oleh Darwin, bukan juga hewan yang harus digembalakan, juga bukan hewan politik seperti yang dikatakan oleh Aristoteles. Manusia diciptakan Tian melalui kedua orang tua. Maka, secara jasmani, manusia menerima hidup dari atau melalui perantara ayah dan ibu. Namun manusia tidak hanya sekadar memiliki jasmani (daya hidup jasmani/nyawa), Tian melengkapinya dengan roh (daya hidup rohani).

Hakikat dan Sifat Dasar Manusia
Hakikat dan Sifat Dasar Manusia
Dalam tradisi filsafat dan agama, baik Barat maupun Timur, diketahui bahwa manusia merupakan makhluk multidimensi. Manusia memiliki empat dimensi dasar, yaitu:
1. dimensi Fisik : tubuh (psikomotorik)
2. dimensi Intelektual : pikiran (kognitif)
3. dimensi Emosional : hati (afektif)
4. dimensi Rohani : jiwa (spiritual)

Keempat dimensi ini mencerminkan empat kebutuhan dasar hidup manusia, yaitu:
1. kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidup (survival)
2. kebutuhan untuk belajar (improvement)
3. kebutuhan untuk mencintai dan dicintai (kasih sayang)
4. kebutuhan untuk meninggalkan nama baik (eksis)

1. Dua Unsur Nyawa dan Roh (Gui Shen)

Berdasarkan prinsip Yin-Yang, bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan kehidupan ini selalu dengan dua unsur yang berbeda, tetapi saling mendukung dan melengkapi satu sama lain. Yin-Yang, negatif-positif, wanita-pria, bumi-langit, malamsiang, kanan-kiri, dan seterusnya. Dalam diri manusia, Tuhan memberkahinya dengan dua unsur: nyawa dan roh. Maka diyakini, bahwa manusia adalah makhluk termulia di antara makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Karena selain memiliki nyawa (daya hidup jasmani), manusia juga memiliki roh (daya hidup rohani).

Roh atau daya hidup rohani yang di dalamnya bersemayan “Xing” atau Watak Sejati sebagai Firman Tuhan atas diri manusia, yang mengandung benih-benih kebajikan, yaitu: Ren, Yi, Li, dan Zhi.

Watak Sejati inilah yang menjadi benih suci sehingga manusia berkemampuan untuk berbuat bajik dan sekaligus menjadi tanggung jawab manusia untuk menggemilangkannya sehingga menjadi tetap baik sampai pada akhirnya (sesuai firman-Nya).

Nyawa atau daya hidup jasmani yang di dalamnya terkandung daya rasa atau “nafsu” yang merupakan kekuatan bagi manusia untuk melangsungkan hidupnya. Daya rasa atau “nafsu” itu adalah: Xi, Nu, Ai, dan Le. Tanpa keempat daya rasa ini manusia tidak dapat melangsungkan kehidupannya. Maka, baik daya hidup rohani (Watak Sejati) ataupun daya hidup jasmani (nafsu) merupakan dua unsur yang dimiliki oleh manusia.

2. Watak Sejati (Xing) sebagai Daya Hidup Rohani

Ajaran Khonghucu (Ru Jiao) meyakini bahwa pada dasarnya sifat manusia itu asalnya baik, suci dan murni. Tuhan Yang Maha Esa sebagai Khalik pencipta mencakup: Yuan, Heng, Li, dan Zhen, menjadikan manusia memperoleh percikan kebajikan-Nya sebagai firman yang berada pada diri setiap manusia. Percikan kebajikan Tuhan dalam diri manusia itu berupa Xing (Watak Sejati) yang di dalamnya terkandung benih-benih kebajikan, yaitu: Ren, Yi, Li, dan Zhi.

“Firman Tuhan itulah dinamai Watak Sejati (Xing), hidup/berbuat mengikuti Watak Sejati itulah dinamai menempuh Jalan Suci, bimbingan menempuh Jalan Suci itulah dinamai agama.” (Zhongyong. Bab Utama Pasal 1)

Keempat benih kebajikan inilah yang menjadi kemampuan luhur bagi manusia untuk berbuat bajik, sekaligus menjadi tanggung jawab manusia untuk mempertahankan dan menggemilangkan benih-benih kebajikan itu. Tidak dapat dipungkiri bahwa Keempat benih kebajikan itu ada dalam diri setiap manusia dan menjadi sifat dasar manusia.

Rasa hati berbelas kasihan dan tidak tega itulah benih dari cinta kasih.
• Rasa hati malu dan tidak suka itulah benih dari kebenaran.
• Rasa hormat dan rendah hati itulah benih dari kesusilaan.
• Rasa hati menyalahkan dan membenarkan itulah benih dari kebijaksanaan.

  • Siapa yang tidak merasa iba/kasihan melihat orang lain menderita.
  • Siapa yang tidak malu melakukan perbuatan yang tidak berlandaskan kebenaran, dan siapa yang suka jika diperlakukan tidak benar.
  • Siapa yang tidak mengerti bahwa kepada orang yang lebih tua harus menaruh hormat, mengalah dan merendah hati.
  • Siapa yang tidak dapat membedakan bahwa sesuatu itu pantas atau tidak pantas untuk dilakukan.
Mengzi berkata: “Rasa hati kasihan dan tidak tega tiap orang mempunyai; rasa hati malu dan tidak suka, tiap orang mempunyai; rasa hati hormat dan mengindahkan, tiap orang mempunyai; rasa hati membenarkan dan menyalahkan, tiap orang mempunyai. Adapun rasa hati berbelas kasihan dan tidak tega itu menunjukkan adanya benih cinta kasih. Rasa malu dan tidak suka menunjukkan adanya benih menjunjung kebenaran. Rasa hati hormat dan mengindahkan menunjukkan adanya benih kesusilaan.

Rasa hati menyalahkan dan membenarkan menunjukkan adanya benih kebijaksanaan. Cinta kasih, kebenaran, kesusilaan, dan kebijaksanaan itu bukanlah hal-hal yang dimaksudkan dari luar ke dalam diri, melainkan diri kita sudah mempunyainya. Akan tetapi, sering manusia tidak mau mawas diri. Maka dikatakan, carilah! dan engkau akan mendapatkan. Sia-siakanlah dan engkau akan kehilangan …!” “Sifat orang memang berbeda-beda, mungkin berbeda berlipat dua sampai lima atau bahkan tidak terhitung. Akan tetapi, itu tidak dapat dicarikan alasan kepada Watak Sejatinya.”

“Mengapa kukatakan tiap orang mempunyai perasaan tidak tega akan sesama manusia? Kini bila ada seorang anak kecil yang hampir terjerumus ke dalam perigi, niscaya dari lubuk hatinya timbul rasa terkejut dan belas kasihan. Ini bukan karena dalam hatinya ada keinginan untuk dapat berhubungan dengan orang tua anak itu, bukan ingin  mendapat pujian kawan-kawan sekampung, bukan juga karena khawatir akan mendapat celaan.”

“Dari hal itu kelihatan, bahwa yang tidak mempunyai rasa belas kasihan itu bukan orang lagi, yang tidak mempunyai perasaan malu dan tidak suka itu bukan orang lagi, yang tidak mempunyai perasaan rendah hati dan mau mengalah itu bukan orang lagi, yang tidak mempunyai perasaan menyalahkan dan membenarkan itu bukan orang lagi.”

“Perasaan berbelas kasihan itulah benih cinta kasih, perasaan malu dan tidak suka itulah benih kebenaran, perasan rendah hati dan mau mengalah itulah benih dari kesusilaan, dan perasaan menyalahkan dan membenarkan itulah benih dari kebijaksanaan.” (Mengzi. Bab II A: 6)

Mengzi berkata,
  1. Kemampuan yang dimiliki orang dengan tanpa belajar, disebut kemampuan asli (Liang Ling). Pengertian yang dimiliki orang dengan tanpa belajar, disebut pengertian asli (Liang Zhi).”
  2. ”Anak-anak yang didukung tidak ada yang tidak mengerti/mencintai orang tuanya, dan setelah besar tidak ada yang tidak mengerti harus hormat kepada kakaknya.”
  3. ”Mencintai orang tua itulah cinta kasih, dan hormat kepada yang lebih tua itulah Kebenaran. Tidak dapat dipungkiri memang itulah kenyataan yang ada di dunia.”
Dari ayat di atas dapatlah dikatakan suatu dokrin iman yang dengan jelas menyebutkan akan diri manusia itu, di dalamnya ada Watak Sejati (Xing) yang menjadi kodratnya sebagaimana difirmankan Tuhan. Dengan demikian, tentunya Watak Sejati itu ada pada diri setiap manusia, dan pasti sama adanya. Semua manusia, apakah baik atau jahat secara fundamental memiliki jiwa yang sama, jiwa yang sepenuhnya tidak pernah dapat dileyapkan oleh keegoisan, serta selalu mewujudkan dirinya segera dalam reaksi intuitifnya terhadap segala sesuatu.

Perasaan kasihan secara otomatis muncul dalam diri setiap manusia ketika melihat seorang anak kecil jatuh ke dalam sumur. Perasaan tersebut muncul secara spontan dan alami karena memang demikianlah kebenaran kodrat kita sebagai manusia.

Pengetahuan (kemampuan merasakan) ini adalah perwujudan dari sifat kita yang asli. Yang perlu dilakukan oleh kita (manusia) adalah mengikuti arahan dari pengetahuan/kemampuan intuitif itu, dan selanjutnya tanpa keraguan mengarah kepadanya. Karena apabila kita mencoba untuk menemukan alasan untuk tidak mengikuti arahan-arahannya, berarti kita menambahkan sesuatu atau mungkin mengurangi sesuatu dari pengetahuan/kemampuan intuitif itu. Dengan demikian kita akan kehilangan kebaikan tertinggi kita. Tindakan mencari alasan merupakan sikap yang disebabkan oleh keegoisan.

Dengan Watak Sejati, hidup manusia dibangun sehingga mempunyai suatu nilai. Karena memiliki Watak Sejati itulah manusia menjadi makhluk mulia dan utama dari segala ciptaan-Nya. Watak Sejati merupakan percikan dari sifat kebajikan Tuhan, maka, pada dasarnya manusia mampu beriman dan mengerti akan perihal kuasa kebajikan-Nya.
  • Ren, muncul paling awal dalam diri setiap manusia.
  • Yi, muncul kemudian setelah pengertian berkembang.
  • Li, dapat ditanamkan pada masa menjelang remaja.
  • Zhi, merupakan tuntunan yang tak terbatas ketika manusia berangkat dewasa.

3. Daya Hidup Jasmani

Seperti telah dipaparkan di atas bahwa selain diberikan Watak Sejati (Xing) sebagai kemampuan luhur bagi manusia untuk berbuat baik/bajik, manusia juga diberikan daya rasa (daya hidup jasmani) sebagai kemampuan manusia untuk menggenapi kehidupannya. Daya rasa atau daya hidup jasmani itu ialah:
Gembira (Xi) Marah (Nu)
Sedih (Ai) Senang (Le)

Peradaban manusia dapat bertahan sampai hari ini karena manusia memiliki daya rasa (nafsu) tersebut. Keempat daya rasa (nafsu) inilah yang menjadikan manusia mampu mengembangkan kehidupannya. Tetapi nafsu ini pulalah yang dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan bila manusia tidak dapat memelihara dan mengendalikannya.

Tujuan pengajaran agama tidaklah bermaksud menghapuskan atau membunuh nafsu-nafsu tersebut karena bagaimanapun nafsu-nafsu itu sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Agama bertujuan membimbing agar manusia mengerti bagaimana mengendalikan bila nafsu yang ada di dalam dirinya itu timbul. Mengendalikannya agar tidak melampaui batas “tengah”.

“Gembira, marah, sedih, dan senang sebelum timbul dinamai tengah. Setelah timbul tetapi masih berada di batas tengah dinamai harmonis. Tengah itulah pokok besar dunia, dan keharmonisan itulah cara menempuh Jalan Suci di dunia.” (Zhongyong. Bab Utama Pasal: 4)

“Bila dapat terselenggara tengah dan harmonis, kesejahteraan akan meliputi langit dan bumi, segenap makhluk dan benda akan terpelihara.” (Zhongyong. Bab Utama Pasal: 5)

Ketika manusia berada dalam kondisi dimana tidak ada rasa gembira, rasa marah, rasa sedih, dan rasa senang/suka di dalam dirinya, kondisi inilah yang dimaksud manusia dalam keadaan “tengah.” Tetapi, keadaan dalam kehidupan ini sangatlah dinamis/selalu berubah, terlebih lagi perasaan manusia mudah sekali terpengaruh dan berubah. Keadaan tengah dalam diri manusia tidak dapat berlangsung/bertahan selamanya,  banyak hal dan peristiwa yang dapat memancing timbulnya nafsu di dalam diri. Bila salah satu nafsu itu timbul, berarti saat itu manusia sudah tidak dalam keadaan tengah.
  1. Ketika manusia menerima kabar baik yang diharapkan, seketika itu timbul perasaan gembira di dalam dirinya.
  2. Ketika mendapat perlakuaan buruk/tidak benar, seketika itu timbul perasaan marah di dalam dirinya.
  3. Ketika menerima kabar buruk yang tidak diharapkan, seketika itu timbul perasaan sedih dan kecewa.
  4. Ketika melihat, mendengar atau merasakan yang sesuatu yang menarik hatinya, seketika itu timbul perasaan senang/suka.
Menjadi kewajiban manusia untuk selalu mengendalikan setiap nafsu yang timbul dalam dirinya agar tetap berada di batas tengah (tidak kelewatan). Mengendalikan nafsu yang timbul tetap di batas tengah itulah yang dinamai “harmonis”.
  1. Jangan karena perasaan gembira lalu menjadi lupa diri dan tidak memperhatikan sikap dan perilaku, ini berarti melanggar nilai-nilai cinta kasih.
  2. Jangan karena perasaan marah, sampai berbuat keterlaluan, ini berarti melanggar nilai-nilai kebenaran.
  3. Jangan kerena perasaan sedih sampai merusakan badan, ini berarti melanggar nilai-nilai kesusilaan.
  4. Jangan karena perasaan suka terhadap sesuatu, sampai melupakan hal-hal lain hanya sekadar ingin memuaskan keinginan diri, ini berarti melanggar nilai-nilai kebijaksanaan.

0 komentar

Posting Komentar