Agama Khonghucu di Era Reformasi - Pada pembahasan materi agama Khonghucu kali ini akan membahas perkembangan di Era Reformasi, dimulai dengan pengakuan agama secara yuridis dan pelayanan hak sipil umat Khonghucu serta Imlek Menjadi Hari Libur Nasional, untuk lebih jelasnya dapat disimak dalam penjelasan berikut ini!
Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena keenam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, selain mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, mereka juga mendapat bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan pasal ini.
Jumlah penganut agama Khonghucu di Indonesia pada tahun 1967 sekitar tiga juta orang. Kemudian berdasarkan hasil sensus penduduk yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1971, penganut agama Khonghucu tercatat 0,6 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia di Jawa, dan 1,2 persen di luar Jawa. Untuk seluruh Indonesia para penganut Agama Khonghucu sebanyak 999.200 jiwa (0,8 persen dari seluruh penduduk Indonesia). Sementara jumlah penduduk etnis Zhonghoa pada tahun 1999 mencapai 4-5 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Namun, karena situasi politik di Indonesia dengan berbagai macam peraturan yang menghambat perkembangan Agama Khonghucu pada saat itu, jumlah penganut Agama Khonghucu telah banyak berkurang.
Ini disebabkan karena adanya pembatasan-pembatasan, misalnya di dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan, mendirikan tempat ibadah, tidak dicantumkannya Agama Khonghucu pada kolom agama di KTP, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, dan termasuk tidak diperbolehkannya pelajaran agama Khonghucu di sekolah-sekolah. Semua itu menjadikan hambatan bagi para penganut agama Khonghucu. Hal ini sebenarnya sangat bertentangan dengan falsafah negara kita yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 29 yang telah memberikan jaminan dan kebebasan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk memeluk agama dan melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
Terlebih lagi hal ini sangat bertentangan dengan Undang-undang tentang hak-hak azazi manusia, karena kebebasan beragama sebenarnya adalah merupakan hak yang paling hakiki bagi umat manusia di dalam menjalin hubungan mereka dengan Sang Pencipta-Nya yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Agama bukan pemberian oleh suatu negara, melainkan suatu keyakinan dari umatnya yang mempercayainya.
Oleh karena itu selayaknya negara tidak mencampuri ataupun membatasinya. Secara resmi dan berdasarkan hukum (de facto dan de jure) pengakuan terhadap agama Khonghucu di Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ini terbukti dengan diberikannya kesempatan kepada umat Khonghucu di Indonesia melalui lembaga tertingginya MATAKIN untuk mengadakan Musyawarah Nasional (MUNAS) ke XIII pada tanggal 22-23 Agustus 1998 di asrama Haji Pondok Gede-Jakarta Timur, ini sesuai dengan rekomendasi dari Menteri Agama Republik Indonesia Bapak Malik Fajar yang menjabat Menteri Agama pada saat itu.
Selanjutnya pemerintah Indonesia telah mencabut beberapa peraturan yang bersifat diskriminasi, antara lain:
Sekian pembahasan tentang Agama Khonghucu di Era Reformasi, dan juga mengenai pengakuan agama secara yuridis, pelayanan hak sipil umat Khonghucu serta Imlek Menjadi Hari Libur Nasional, semoga dapat memberikan manfaat.
Agama Khonghucu di Era Reformasi
1. Pengakuan Agama Khonghucu secara Yuridis
Berdasarkan Pepres No. 1 1965 j.o. Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 dalam penjelasan pasal demi pasal antara lain dinyatakan: “Agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.”Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena keenam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, selain mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, mereka juga mendapat bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan pasal ini.
Perayaan Imlek Nasional ke 2 di Istora Senayan Jakarta-2001. |
Kebebasan beragama merupakan hak yang paling hakiki bagi umat manusia di dalam menjalin hubungan mereka dengan Sang Pencipta-Nya yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Agama bukan pemberian oleh suatu negara, melainkan suatu keyakinan dari umatnya yang mempercayainya. Oleh karena itu selayaknya negara tidak mencampuri ataupun membatasinya.
Jumlah penganut agama Khonghucu di Indonesia pada tahun 1967 sekitar tiga juta orang. Kemudian berdasarkan hasil sensus penduduk yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1971, penganut agama Khonghucu tercatat 0,6 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia di Jawa, dan 1,2 persen di luar Jawa. Untuk seluruh Indonesia para penganut Agama Khonghucu sebanyak 999.200 jiwa (0,8 persen dari seluruh penduduk Indonesia). Sementara jumlah penduduk etnis Zhonghoa pada tahun 1999 mencapai 4-5 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Namun, karena situasi politik di Indonesia dengan berbagai macam peraturan yang menghambat perkembangan Agama Khonghucu pada saat itu, jumlah penganut Agama Khonghucu telah banyak berkurang.
Ini disebabkan karena adanya pembatasan-pembatasan, misalnya di dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan, mendirikan tempat ibadah, tidak dicantumkannya Agama Khonghucu pada kolom agama di KTP, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, dan termasuk tidak diperbolehkannya pelajaran agama Khonghucu di sekolah-sekolah. Semua itu menjadikan hambatan bagi para penganut agama Khonghucu. Hal ini sebenarnya sangat bertentangan dengan falsafah negara kita yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 29 yang telah memberikan jaminan dan kebebasan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk memeluk agama dan melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
Terlebih lagi hal ini sangat bertentangan dengan Undang-undang tentang hak-hak azazi manusia, karena kebebasan beragama sebenarnya adalah merupakan hak yang paling hakiki bagi umat manusia di dalam menjalin hubungan mereka dengan Sang Pencipta-Nya yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Agama bukan pemberian oleh suatu negara, melainkan suatu keyakinan dari umatnya yang mempercayainya.
Oleh karena itu selayaknya negara tidak mencampuri ataupun membatasinya. Secara resmi dan berdasarkan hukum (de facto dan de jure) pengakuan terhadap agama Khonghucu di Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Pancasila, sila yang pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
- Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28 E (setelah adanya perubahan UUD 1945 oleh MPR): Ayat (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agama dan keyakinannya masing-masing. Ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
- UUD 1945, Pasal 29 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
- Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia; Pasal 22 ayat (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 22 ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
- Undang-Undang No. I/PNPS/1965, jo. Undang-Undang No. 5/1967 tentang Pencegahan Penyalagunaan dan/Penodaan Agama.
- KEPRES No. 6 Tahun 2000 yang mencabut INPRES No. 14/1967 yang sebelumnya banyak digunakan untuk membelenggu umat, agama dan kelembagaan Khonghucu.
- Kebebasan umat dan agama Khonghucu di Indonesia sudah ada sejak lama, berbarengan dengan masuknya orang Zonghoa ke Indonesia, seperti antara lain dapat dibuktikan dari umur kelenteng dan Mio (Wen Miao Surabaya) yang sudah ratusan tahun lamanya.
- Statistik yang dikeluarkan BPS pada tahun 1971 dan 1976, di mana jumlah umat Khonghucu tercatat 0,7 persen dari seluruh penduduk Indonesia.
- Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) didirikan sejak tanggal 16 April 1955.
- Sejak tahun 2000 telah menyelenggarakan Perayaan Tahun Baru Yinli secara nasional berturut-turut yang selalu dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia dan para pejabat teras pemerintahan Indonesia, juga dihadiri oleh para tokoh/pemuka agama-agama yang ada di Indonesia.
2. Pelayanan Hak Sipil Umat Khonghucu
Seiring dengan bergulirnya arus reformasi pada tahun 1998, pengakuan terhadap hak azasi manusia di Indonesia dan pandangan serta perlakuan terhadap Agama Khonghucu mulai berubah.
Sidang MUNAS MATAKIN XIV Jakarta 2002 |
Ini terbukti dengan diberikannya kesempatan kepada umat Khonghucu di Indonesia melalui lembaga tertingginya MATAKIN untuk mengadakan Musyawarah Nasional (MUNAS) ke XIII pada tanggal 22-23 Agustus 1998 di asrama Haji Pondok Gede-Jakarta Timur, ini sesuai dengan rekomendasi dari Menteri Agama Republik Indonesia Bapak Malik Fajar yang menjabat Menteri Agama pada saat itu.
MUNAS tersebut dihadiri oleh seluruh perwakilan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN), Kebaktian Agama Khonghucu Indonesia (KAKIN) dan Wadah Umat Khonghucu lainnya.
Selanjutnya pemerintah Indonesia telah mencabut beberapa peraturan yang bersifat diskriminasi, antara lain:
- Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang pembatasan terhadap budaya, adat istiadat, dan agama Cina yang dianulir melalui Kepres No. 6 Tahun 2000.
- Surat Edaran MENDAGRI No. 477/74054/BA.01,2/4683/95 Tanggal 18 November 1979 tentang pencantuman kolom agama di KTP dari lima agama yang diakui oleh pemerintah: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Buddha telah dianulir oleh Surat Keputusan MENDAGRI.
3. Imlek Menjadi Hari Libur Nasional
Selain itu MATAKIN telah mengadakan perayaan Tahun Baru Yinli secara nasional sebanyak empat kali berturut-turut sejak tahun 2000 yang selalu dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia, para Menteri Negara, Pimpinan MPR dan DPR, duta besar negara sahabat dan tokoh masyarakat, serta tokoh dari berbagai agama yang ada di Indonesia. Pada tahun 2002, saat perayaan Yinli Nasional yang ketiga, Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri telah menetapkan Tahun Baru Yinli sebagai hari libur Nasional.
Sekian pembahasan tentang Agama Khonghucu di Era Reformasi, dan juga mengenai pengakuan agama secara yuridis, pelayanan hak sipil umat Khonghucu serta Imlek Menjadi Hari Libur Nasional, semoga dapat memberikan manfaat.
0 komentar
Posting Komentar