Pengertian, Bagian-bagian Catur Asrama dan Kewajibannya

>
Memahami Pengertian serta Bagian-bagian dari Catur Asrama dan Apasaja Kewajibannya - Pada pembahasan materi pelajaran agama Hindu untuk kelas 10 kali ini akan membahas mengenai Catur Asrama, yang akan dijelaskan mulai dari pengertian, bagian-bagian, manfaat apa saja yang dapat diambil dari mempelajari ajaran Catur Asrama, dan pokok-pokok utama dari ajaran tersebut, sehingga nantinya sobat akan dapat mengerti dan memahami apa yang dimaksud dengan Catur Asrama, untuk lebih jelasnya dapat kalian simak dalam penjelasan singkat berikut ini!

niyatam kuru karma tvaḿ
karma jyāyo hy akarmaṇaḥ
śarīra-yātrāpi ca te
na prasiddhyed akarmaṇaḥ

(Bhagavadgītā III.8.42).

Terjemahan:
Lakukanlah pekerjaan yang diberikan padamu karena melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya daripada tidak melakukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara badanmu tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja.

Pengertian Catur Asrama

Manusia tumbuh melalui berbagai tahap usia dalam hidup mereka, proses yang dikenal sebagai siklus kehidupan manusia. Berbagai poin sepanjang siklus kehidupan seseorang menawarkan berbagai pertumbuhan dan perkembangan, baik pada tingkat fisik dan emosional. Sebagai orang yang bergerak melalui kehidupan dari satu siklus ke siklus yang lain, ia juga mengalami perkembangan konstan dari kehidupan seluler, kematian dan regenerasi, dari saat pembuahan sampai saat kematian.

Kita mesti bangga karena Hindu telah memiliki konsep yang jelas tentang jenjang kehidupan seorang manusia yang tersusun secara sistimatis dalam Catur Asrama. Dalam kepercayaan lain konsep ini nampak tidak begitu jelas, dimana seorang yang sebenarnya sudah masuk di masa yang sudah tidak muda lagi masih diijinkan untuk menikah dan begitu juga sebaliknya diusia yang masih sangat muda seseorang telah dinikahkan.
Siklus kehidupan manusia. Pengertian, Bagian-bagian Catur Asrama dan Kewajibannya
Siklus kehidupan manusia. Pengertian, Bagian-bagian Catur Asrama dan Kewajibannya

Selain itu penilaian Hindu tentang seberapa pantas seorang itu menikah bukan hanya dari fisik tapi kedewasaan mental dan seberapa besar kemampuan yang diperoleh dalam masa belajar untuk dapat menunjang kehidupan rumah tangganya nanti.

Memahami Catur Asrama

Kata Catur Asrama berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata Catur dan Asrama. Catur berarti empat dan kata Asrama berarti tempat atau lapangan ’kerohanian’. Kata ’asrama’ sering juga dikaitkan dengan jenjang kehidupan. Jenjang kehidupan itu berdasarkan atas tatanan rohani, waktu, umur, dan sifat perilaku manusia.

Susunan tatanan itu mendukung atas perkembangan rohani seseorang. Perkembangan rohani berproses mulai dari bayi, muda, dewasa, tua, dan mekar. Kemudian berkembang menjadi rohani yang mantap mengalami ketenangan dan keseimbangan. Jadi Catur Asrama berarti empat jenjang kehidupan yang berlandaskan petunjuk kerohanian Hindu.

Adanya empat jenjang kehidupan dalam ajaran agama Hindu dengan jelas memperlihatkan bahwa hidup itu diprogram menjadi empat fase dalam kurun waktu tertentu. Tegasnya dalam satu lintasan hidup diharapkan manusia mempunyai tatanan hidup melalui empat tahap program itu, dengan menunjukkan hasil yang sempurna.

Dalam fase pertama, kedua, ketiga, dan keempat rumusan tatanan hidup dipolakan. Sehingga dapat digariskan bahwa pada umumnya orang yang berada dalam fase pertama dan tidak boleh atau kurang tepat menuruti tatanan hidup dalam fase yang kedua, ketiga, ataupun keempat.

Demikian seterusnya diantara satu fase hidup dengan kehidupan berikutnya. Bilamana hal itu terjadi dan diikuti secara tekun maka kerahayuan hidup akan mudah tercapai. Bilamana dilanggar tentu yang bersangkutan akan mengalami hal yang sebaliknya. Jadi untuk memudahkan menuju tujuan hidup maka agama Hindu mengajarkan dan mencanangkan empat jenjang tatanan kehidupan ini. Masing-masing jenjang itu, memiliki warna tersendiri dan semua jenjang itu mesti dilewati hingga akhir hayat dikandung badan. Setelah itu diharapkan atma menjadi bersatu dengan sumbernya yaitu Parama Atma.

Bagian-bagian Catur Asrama dan Kewajibannya

“Pelaksanaan Brahmacari Membawa Akibat Bagi Leluhurnya”
Tersebutlah seorang Brahmana yang bernama Sang Jaratkaru. Ia yang bernama Jaratkaru, sangatlah takut pada kesengsaraan hidup ini. Jaratkaru adalah putra seorang wiku terpilih atas ketetapan budinya. Beliau begitu rajin mengambil butir-butir padi yang tercecer di jalan atau di sawah lalu dipungut dan dicucinya. Apabila sudah terkumpul banyak lalu ditanaknya, digunakan sebagai korban kepada para Dewa dan juga untuk dihidangkan kepada para tamu. Demikianlah ketetapan budi leluhurnya Jaratkaru, tidak terikat oleh cinta asmara, tidak memikirkan istri melainkan bertapa sajalah yang dipentingkan.

Dikisahkan sekarang Sang Maha Raja Parikesit berburu kemudian dikutuk oleh Bhagawan Srenggi supaya digigit naga Taksaka. Pada kesempatan itulah Jaratkaru bertapa. Setelah ia berhasil bertapa mahir atas segala mantra-mantra ia dibolehkan memasuki segala tempat, termasuk tempat-tempat yang dikehendaki yaitu tempat di antara surga dan neraka namanya Ayatanasthana. Pada tempat neraka ditemukan roh leluhurnya sedang terhukum tergantung pada pohon bambu besar, mukanya tertelungkup ke bawah kakinya diikat sedangkan di bawahnya ada jurang yang sangat dalam, jalan akan menuju kawah neraka. Roh akan tepat jatuh ke kawah apabila tali gantungan itu putus. Di lain pihak seekor tikus sedang menggigit pohon bambu tersebut. Peristiwa ini sangat kritis dan sangat mengerikan bagi para roh yang terhukum. Melihat kejadian ini Jaratkaru berlinang-linang air matanya kasihan menyaksikan roh terhukum tersebut.

Didekatilah roh itu dan ditanya satu persatu penyebab ia sampai terhukum seperti itu. Semua roh menyampaikan suatu alasan penyebabnya, seperti mencuri, irihati memfitnah, berzina dan lain-lain yang menurut Jaratkaru memang pantas pula mendapatkan hukuman seperti itu. Kemudian akhirnya Sang Jaratkaru menanyakan penyebabnya sampai terhukum, lalu roh itu menjawab, saya ini yang kau tanyai, saya akan katakan keadaan saya semua, keturunan kami putus itulah sebabnya saya pisah dari dunia leluhur dan tergantung di bambu besar ini seakan-akan sudah masuk neraka. Saya punya seorang keturunan bernama Jaratkaru. Ia pergi karena ingin melepaskan ikatan kesengsaraan orang, ia tidak punya istri, karena menjadi seorang brahmacari sejak masih kecil.

Itulah sebabnya saya ada di buluh ini, karena berata semadinya keturunan saya di asrama pertapaannya. Mungkin ia telah hebat ilmunya namun apabila putus keturunannya niscaya tidak ada buah dari tapanya. Saya tidak berbeda seperti orang yang melaksanakan perbuatan hina yang pantas mendapat sengsara. Rugi rupanya perbuatan saya yang baik pada waktu hidup. Kalau kiranya engkau belas kasihan kepada saya, pintalah kasihannya sang wiku Jaratkaru supaya suka berketurunan, supaya saya dapat pulang ke tempat para leluhur, katakanlah bahwa saya menderita sengsara, supaya ia juga berbelas kasihan.

Mendengar kata-kata leluhurnya itu, makin berlinang-linanglah air matanya dan tanpa disadari ia menangis, hatinya makin tersayat melihat leluhurnya menderita, lalu berkata: “saya inilah yang bernama Jaratkaru, seorang keturunanmu yang gemar bertapa, bertekad menjadi brahmacari, kiranya sekaranglah penderitaanmu berakhir sebab selalu sempurna tapa yang telah berlangsung. Adapun kalau itu yang menjadi kendala untuk kembali ke surga, janganlah khawatir, saya akan memberhentikan kebrahmacarian saya”.

Saya akan mencari istri agar mempunyai anak. Adapun istri yang saya kehendaki adalah istri yang namanya sama dengan nama saya supaya tidak ada pertentangan dalam perkawinan saya. Kalau saya telah berputra saya akan menjadi brahmacari lagi.

Demikian kata Sang Jaratkaru dan pergilah ia mencari istri yang senama dengan dia. Semua penjuru sudah dimasukinya namun belum mendapatkan istri yang senama dengan dia, maka dia tidak tahu apa yang akan dikerjakan dengan tanpa disadari dia mencari pertolongan kepada bapaknya supaya dapat menghindarkan dirinya dari sengsara.

Kemudian masuklah ia ke hutan sunyi, sambil menangis mengeluh kepada segala makhluk, termasuk makhluk yang tidak bergerak. Saya ini Jaratkaru seorang brahmana yang ingin beristri berilah saya istri yang senama dengan saya Jaratkaru, supaya saya berputra, supaya leluhur saya pulang ke surga. Seru dan tangis sang Jaratkaru terdengar oleh para naga, dalam waktu singkat disuruhlah para naga mencari brahmana itu yang bernama Jaratkaru oleh Sang Basuki, yang akan diberikan pada adiknya yang bernama Nagini yang diberi nama Jaratkaru agar mempunyai anak brahmana yang akan menghindarkan dirinya dari korban ular.

Terjadilah perkawinan kedua mempelai Jaratkaru yang senama, dengan berbagai upacara. Kemudian Sang Jaratkaru mengadakan perjanjian kepada sang istri yaitu jangan engkau mengatakan sesuatu yang tidak mengenakan perasaan, demikian pula berbuat yang tidak senonoh. Kalau hal itu kau perbuat engkau akan kutinggalkan. Demikianlah kata Sang Jaratkaru kepada istrinya, lalu merekapun hidup bersama. Beberapa bulan kemudian terlihatlah tanda-tanda bahwa istrinya hamil.

Pada suatu waktu ia akan tidur, ia minta ditunggui oleh istrinya, karena dikiranya akan ditinggalkan. Ia minta agar kepalanya dipangku oleh istrinya dan tidak mengganggunya selama beliau tidur. Dengan hati-hati istrinya memangku suaminya yang cukup lama sampai waktu senja tepat waktu waktu pemujaan. Lalu sang Nagini Jaratkaru membangunkan brahmana Jaratkaru, takut kelewatan waktu memuja.

Setelah membangunkan Jaratkaru justru terbalik, brahmana Jaratkaru malah marah-marah mukanya merah karena marahnya. Brahmana berseru: ”Hai Nagini (Jaratkaru) jahanam! Sangatlah penghinaanmu sebagai istri, engkau berani mengganggu tidurku! Tidak selayaknya tingkah laku istri seperti tingkahmu itu. Sekarang engkau akan kutinggalkan”. Demikian kata-katanya lalu memandang kepada istrinya.

Nagini mengikutinya, lari lalu memeluk kaki suaminya. ”Oh tuanku, Ampunilah hamba tuanku ini. Tidak karena hinaan hamba membangunkan tuanku. Tetapi hanya memperingatkan tuanku akan waktu pemujaan setiap hari waktu senja. Salah kiranya, karena itu hamba menyembah, minta ampun tuanku, baik kiranya tuanku kembali................Kalau hamba sudah punya anak yang akan menghindarkan keluarga hamba dari korban ular, sejak itulah tuanku boleh bertapa kembali”.

Demikian Nagini minta belas kasihan. Jaratkaru menjawab "Alangkah baiknya perbuatanmu, Nagini, memperingatkan pemujaan kepadaku pada waktu senja, tapi sama sekali aku tidak dapat mencabut perkataanku untuk meninggalkan engkau. Jangan khawatir keinginanmu untuk memiliki Asti, anakmu sudah ada. Itulah yang akan melindungimu kelak pada waktu korban ular."

Senanglah Nagini Jaratkaru. Sang Nagini ditinggalkannya. Nagini lalu mengatakan kepada Sang Basuki tentang kepergian suaminya. Mengatakan segala perkataan Sang Jaratkaru, dan mengatakan pula tentang isi kandungannya, yang menyebabkan girangnya sang Basuki. Setelah berselang beberapa lama lahir seorang bayi laki-laki sempurna keadaan badannya, kemudian diberi nama Sang Astika, karena bapaknya bilang ”asti”. Bayi itu disambut oleh Sang Basuki dan diberi upacara sebagai seorang brahmana. Baru lahir Sang Astika seketika itu leluhur yang bergantungan tadi lepas dari penderitaan dan melayang ke surga mengenyam hasil tapanya dahulu. Demikian pula Naga Taksaka terhindar dari korban ular yang dilangsungkan oleh Raja Janamejaya.

Memahami Teks Pelaksanaan Brahmacari Membawa Akibat Bagi Leluhurnya

Naskah Jawa Kuno yang diberi nama Agastya Parwa menguraikan tentang bagian-bagian Catur Asrama. Dalam kitab Silakrama itu dijelaskan sebagai berikut:
“Catur Asrama ngaranya Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha,
Bhiksuka, Nahan tang Catur Asrama ngaranya”
(Sīlakrama hal 8).
Terjemahan:
Yang bernama Catur Asrama adalah Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, dan Bhiksuka.

Berdasarkan uraian dari Agastya Parwa itu menjadi sangat jelaslah pembagian Catur Asrama itu. Catur asrama ialah empat fase pengasramaan berdasarkan petunjuk kerohanian. Dari keempat pengasramaan itu diharapkan mampu menjadi tatanan hidup umat manusia secara berjenjang.

Masing-masing tatanan dalam tiap jenjang menunjukkan proses menuju ketenangan rohani. Sehingga diharapkan tatanan rohani pada jenjang Moksa sebagai akhir pengasramaan dapat dicapai atau dilaksanakan oleh setiap umat. Adapun pembagian dari Catur Asrama itu terdiri atas:
  • Brahmacari asrama.
  • Grhastha asrama.
  • Wanaprastha asrama.
  • Bhiksuka (Sanyasin) asrama.
Masing-masing jenjang memiliki kurun waktu tertentu untuk melaksanakannya. Pelaksanaan jenjang per jenjang ini hendaknya dapat dipahami dan dipandang sebagai kewajiban moral dalam hidup dan kehidupan ini. Dengan demikian betapapun beratnya permasalahan yang dihadapi dari masing-masing fase kehidupan itu tidak akan pernah dikeluhkan oleh pelakunya.

Idealnya memang seperti itu, tidak ada sesuatu “permasalahan” yang patut kita keluhkan. Keluh-kesah yang kita simpan dan menguasai sang pribadi kita tidak akan pernah membantu secara ihklas untuk mendapatkan jalan keluar dari permasalahan yang ada. Bila kita hanya mampu mengeluh tentu akan menambah beban yang lebih berat lagi. Hindu sebagai agama telah menggariskan kepada umatnya untuk tidak mengeluh. Renungkanlah sloka suci berikut ini:
“Niyatam kuru karma tvam,
karma jyayo hy akarmanah,
sarirayatra pi cha ten
a prasidheyed akarmanah
(Bhagavadgītā III.8.42).
Terjemahan:
Lakukanlah pekerjaan yang diberikan padamu karena melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya daripada tidak melakukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara badanmu tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja.

yajñārthāt karmaṇo ‘nyatra
loko ‘yaḿ karma-bandhanaḥ
tad-arthaḿ karma kaunteya
mukta-sańgaḥ samācara
(Bhagavadgītā III.9.43)
Terjemahan:
Kecuali pekerjaan yang dilakukan sebagai dan untuk Yadnya dunia ini juga terikat oleh hukum karma. Oleh karenanya, O Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai yadnya, bebaskan dari semua ikatan.

Demikianlah Sri Bhagawan Kresna menjelaskan agar kita melakukan pekerjaan yang telah diwajibkan dengan benar dan tanpa terikat akan hasilnya. Tujuannya tiada lain adalah agar semua karma atau perbuatan yang kita lakukan diubah menjadi yoga, sehingga kegiatan itu dapat membawa kita menuju persatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Bila seseorang melakukan perbuatan dengan kesadaran badan, yaitu bila mereka menyamakan dirinya sebagai manusia yang berbuat, maka perbuatannya itu tidak akan menjadi karma yoga. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan perasaan mementingkan dirinya sendiri, dengan rasa keterikatan, yaitu merasa perbuatannya, maka semua perbuatan semacam itu akan mengakibatkan kesedihan. Sehubungan dengan itu, renungkan sloka berikut:
na buddhi-bhedaḿ janayed
ajñānāḿ karma-sańginām
joṣayet sarva-karmāṇi
vidvān yuktaḥ samācaran

(Bhagavadgītā III.26.50).

Terjemahan:
Orang yang pandai seharusnya jangan menggoncangkan pikiran orang yang bodoh yang terikat pada pekerjaannya. Orang yang bijaksana melakukan semua pekerjaan dalam jiwa yoga, harus menyebabkan orang lain juga bekerja. “Berkarmalah” untuk dapat mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini sebagaimana dijelaskan dalam ajaran Catur Purusartha. Hanya dengan melakukan kewajiban karma seseorang akan terbebas dari dari semua masalah yang dihadapinya.

Sekian pembahasan materi mengenai Pengertian, Bagian-bagian Catur Asrama dan Kewajibannya yang membahas mengenai pengertian, bagian-bagian, manfaat apa saja yang dapat diambil dari mempelajari ajaran Catur Asrama, dan pokok-pokok utama dari ajaran, jika bukan artikel ini yang sobat cari, di materi selanjutnya akan dibahas perbagian dari Brahmacari asrama, Grhastha asrama, Wanaprastha asrama, Bhiksuka (Sanyasin) asrama yang lebih lengkap, dimana 1 materi perbagian atau mungkin materi dibawah ini dapat menjawabnya, selamat belajar!

0 komentar

Posting Komentar