Penjelasan Kewajiban Kṣatriya, yang merupakan salah satu bagian dari masing-masing Varna yang dianjurkan Hindu - Pada pembahasan materi agama Hindu kali ini mengenai Penjelasan Kewajiban Kṣatriya yang merupakan salah satu dari bagian dari 4 Catur Varna dalam agama Hindu, untuk lebih mudah dipahami dapat kalian simak dalam penjelasan singkat berikut ini!
C.P Bhambhri dalam bukunya Substance of Hindu Polity mengartikan kata Kṣatriya sebagai kedaulatan. Jadinya seseorang Kṣatriya untuk dapat memerintah harus punya kekuasaan dan kekuatan yang berdaulat.
Yang dimaksud dengan kekuatan dalam hal ini bukan saja kekuatan fisik tetapi yang lebih utama adalah kekuatan rohani yang berupa kekuatan iman, kekuatan pikiran (intelegensya), dan semangat yang tinggi.
ManawaDharmasastra II sloka 31, menyebutkan untuk golongan atau Varna Kṣatriya nama-namanya hendaknya menggunakan kata-kata mengandung arti “kekuatan”. Sifat-sifat Varna Kṣatriya, Bhagavadgītā XVIII, 43, menguraikari sebagai berikut:
Sarasamuccaya, 58, menguraikan kewajiban seorang Ksatriya agak berbeda sedikit dengan uraian Bhagavadgītā di atas, diuraikan sebagai berikut:
Dalam Lontar Brahmokya Widhisastra lembaran 6a menyebutkan larangan-larangan dan sanksi-sanksi Varna Kṣatriya sebagai berikut: Apabila ada Kṣatriya yang berbuat tidak benar, tidak baik, berbuat di luar sifat Dwijati, di luar sifat Kṣatriya, salah bahasa, salah kerja dan lain-lainnya mereka akan menjadi Sudra. Walaupun mereka kaya akan tetapi tidak memiliki belas kasihan itu disebut: Bagna Brata.
Dalam Buku Tabir Mahabrata oleh Resi Wahono dijelaskan kewajiban Ksatriya yakni menjaga ketentraman dunia untuk kepentingan masyarakat, dan sama sekali terlepas dari kepentingan pribadi. Seseorang barulah dapat disebut bersikap Ksatriya bila telah dapat mengatasi segala keadaan dengan baik dan tak terikat pada kepentingan pribadi, bebas melaksanakan kewajibannya dengan tidak gentar sedikitpun menghadapi segala resiko meskipun harus mengorbankan jiwa raganya.
Ini bukan berarti seorang Kṣatriya tidak punya cita-cita hidup untuk diri pribadinya. Bagi seorang Ksatriya kemuliaan dan kenikmatan untuk diri sendiri, sama sekali tidak termasuk dalam hitungan. Yang diutamakan dalam cita-citanya adalah kebahagiaan dan keselamatan buat orang banyak dan justru karena malakukan kewajiban itulah Ksatriya akan memperoleh kesempurnaan hidup.
Dari sumber lontar Brahmokta Widhisastra dan Widhi Papincatan kita memperoleh gambaran bahwa jabatan Kṣatriya itu tidak berlaku permanen karena dapat berubah atau turun kedudukannya (panten) kalau tidak dapat melakukan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh ajaran agama. Dalam Tabir Mahabrata kita memperoleh gambaran bahwa seseorang Kṣatriya tidak boleh ragu-ragu dalam mengambil sikap terutama ketika melakukan tugas dan kewajibannya. Seorang Ksatriya yang taat melakukan kewajiban untuk membela kebenaran akan mendapat pahala utama. Hal ini diuraikan juga dalam kekawin Nitisastra sargah IV bait 2 sebagai berikut:
Di samping itu Bhagavadgītā II, 31 memberikan penjelasan yang lebih jelas tentang letak kesempurnaan seorang Kṣatriya dalam melakukan tugas dan kewajibannya. Sloka tersebut berbunyi sebagai berikut:
Dari sumber-sumber tersebut kiranya cukup jelas peran dan fungsi Kṣatriya Varna, yaitu memimpin dan melindungi rakyat. Dari sumber-sumber itu pula dapat disebutkan bahwa raja sudah jelas dapat dipastikan tergolong Varna Kṣatriya.
Lontar Raja Pati Gondola menyebutkan tugas dan kewajiban seorang raja sebagai golongan Kṣatriya, antara lain, Raja harus mengetahui upaya sandhi yang terdiri atas tiga unsur yaitu: (a) Rupa artinya raja harus dapat melihat wajah rakyat dengan baik, (b) Wangsa artinya raja harus dapat melihat tata susunan masyarakat yang utama, (c) Guna artinya raja harus mampu mengetahui rakyatnya yang memiliki keahlian.
Di samping itu lontar tersebut juga menggambarkan bahwa seorang raja harus mengetahui Rajaniti Kamkamuka yaitu suatu ajaran yang menyebutkan seorang raja adalah sebagai pengemudi dan negara sebagai perahu. Jika perahu itu tanpa pengemudi, maka ia akan tenggelam di tengah-tengah lautan, demikian pula sang raja tatkala memegang pemerintahan, kalau lengah sedikit saja negara akan bisa hancur.
Disebutkan pula yang patut dipakai sahabat oleh seorang raja adalah:
Kedelapan Brata yang menjadi badannya pemimpin itu bukanlah berdiri sendiri, melainkan suatu kebulatan yang tidak dapat dipisahkan. Asta Brata memberi pengaruh yang besar sekali dan kewibawaan yang luhur, sehingga pemimpin itu mudah sekali menggerakkan orang/bawahannya, untuk bekerja menjalankan tugasnya masing-masing. Dewa-dewa tersebut menurut Agama Hindu merupakan personifikasi sifat-sifat Hyang Widhi.
Jadi Dewa itu bukanlah Tuhan melainkan sifat-sifat Tuhan. Dilihat dari sudut ini maka jelas nampak bahwa seorang pemimpin dalam segala tindakannya harus mencerminkan kemulyaan Hyang Widhi Wasa. Penjelasan yang serupa benar dengan Asta Brata menurut Ramayana di atas dijumpai pula dalam Manawa Dharmasastra VII, 4 sebagai berikut:
Menurut naskah kuno Nawa Natya, pembantu raja yaitu Patih Hamengku Bumi, yang termasuk pula Kṣatriya, harus memiliki sifat-sifat utama lahir batin, yang kalau disimpulkan adalah sebagai berikut:
Di Bali dan Jawa, ada istilah yang terkenal disebut Manunggaling Kawula lawan Gusti yang maknanya harus ada persatuan antara rakyat dan pemerintahan. Demikian pula ada istilah Katemuaming Bakti kelawan sweca yang maknanya rakyat harus hormat dan mendukung pemerintah dan sebaliknya pemerintah harus melindungi rakyatnya dari segala mara bahaya.
Dengan demikian kiranya disimpulkan bahwa Varna Kṣatriya itu adalah golongan fungsional yang setiap orangnya memiliki kewibawaan, cinta tanah air, serta bakat kelahiran untuk memimpin dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat, negara dan umat manusia berdasarkan dharmanya.
Sekian pembahasan mengenai Penjelasan Kewajiban Kṣatriya bagian dari 4 Catur Varna dalam Hindu yang meliputi tugas dan kewajiban yang harus di miliki oleh seorang Ksatriya bukan saja berarti seorang pemerintah, prajurit, daerah, keunggulan, kekuasaan dan kekuatan namun harus memiliki kekuatan rohani yang menjadi hal paling pokok, semoga penjelasan tersebut dapat memberikan penjelasan yang mudah dipahami, jika bukan materi ini yang sobat cari, mungkin artikel di bawah ini dapat menjawabnya!
Penjelasan Kewajiban Brāhmaṇa bagian dari 4 Catur Varna dalam Hindu
Kata Kṣatriya berasal dari bahasa Sansekerta. Artinya suatu susunan pemerintahan, atau juga berarti pemerintah, prajurit, daerah, keunggulan, kekuasaan dan kekuatan. Memang kewajiban Kṣatriya dalam Catur Varna adalah memimpin pemerintahan, untuk memerintah memerlukan kekuasaan, kekuasaan itu memerlukan kekuatan.C.P Bhambhri dalam bukunya Substance of Hindu Polity mengartikan kata Kṣatriya sebagai kedaulatan. Jadinya seseorang Kṣatriya untuk dapat memerintah harus punya kekuasaan dan kekuatan yang berdaulat.
Yang dimaksud dengan kekuatan dalam hal ini bukan saja kekuatan fisik tetapi yang lebih utama adalah kekuatan rohani yang berupa kekuatan iman, kekuatan pikiran (intelegensya), dan semangat yang tinggi.
Penjelasan Kewajiban Kṣatriya, yang merupakan salah satu bagian dari masing-masing Varna yang dianjurkan Hindu |
ManawaDharmasastra II sloka 31, menyebutkan untuk golongan atau Varna Kṣatriya nama-namanya hendaknya menggunakan kata-kata mengandung arti “kekuatan”. Sifat-sifat Varna Kṣatriya, Bhagavadgītā XVIII, 43, menguraikari sebagai berikut:
śauryaḿ tejo dhṛtir dākṣyaḿ
yuddhe cāpy apalāyanam
dānam īśvara-bhāvaś ca
kṣātraḿ karma svabhāva-jam
Terjemahan:
Berani, perkasa, teguh iman, cekatan dan tak mundur dalam peperangan, dermawan dan berbakat memimpin, adalah karma (kewajiban) Kṣatriya.
Sarasamuccaya, 58, menguraikan kewajiban seorang Ksatriya agak berbeda sedikit dengan uraian Bhagavadgītā di atas, diuraikan sebagai berikut:
Adhitya wedā parisamstirya cāgni
Nistwā yajňaih palayitwā prajaśca,
Bhrtyan bhrtwa jnatisambandhinaśca
Dānam dattwā ksatriyah swargameti
Kunang ulaha sang Ksatriya, umajya sang hyang Veda, nitya agnihotrā,
Magawayang yajňa, rumaksang rat, huninga ring wadwa, teka ring kula gotra,
maweha dana, yapwan mangkana, swargapada antukanira delāha.
Terjemahan:
Maka yang dilakukan oleh Sang Ksatriya, harus mempelajari Veda, senantiasa melakukan korban, api suci, mengadakan upacara kebaktian menjaga keamanan negara, mengenal bawahnya sampai sanak keluarga dan kaum kerabatnya, memberikan sedekah, jika ia berbuat demikian, tingkatan alam surga akan diperolehnya kelak.
Dalam Lontar Brahmokya Widhisastra lembaran 6a menyebutkan larangan-larangan dan sanksi-sanksi Varna Kṣatriya sebagai berikut: Apabila ada Kṣatriya yang berbuat tidak benar, tidak baik, berbuat di luar sifat Dwijati, di luar sifat Kṣatriya, salah bahasa, salah kerja dan lain-lainnya mereka akan menjadi Sudra. Walaupun mereka kaya akan tetapi tidak memiliki belas kasihan itu disebut: Bagna Brata.
Dalam Buku Tabir Mahabrata oleh Resi Wahono dijelaskan kewajiban Ksatriya yakni menjaga ketentraman dunia untuk kepentingan masyarakat, dan sama sekali terlepas dari kepentingan pribadi. Seseorang barulah dapat disebut bersikap Ksatriya bila telah dapat mengatasi segala keadaan dengan baik dan tak terikat pada kepentingan pribadi, bebas melaksanakan kewajibannya dengan tidak gentar sedikitpun menghadapi segala resiko meskipun harus mengorbankan jiwa raganya.
Ini bukan berarti seorang Kṣatriya tidak punya cita-cita hidup untuk diri pribadinya. Bagi seorang Ksatriya kemuliaan dan kenikmatan untuk diri sendiri, sama sekali tidak termasuk dalam hitungan. Yang diutamakan dalam cita-citanya adalah kebahagiaan dan keselamatan buat orang banyak dan justru karena malakukan kewajiban itulah Ksatriya akan memperoleh kesempurnaan hidup.
Dari sumber lontar Brahmokta Widhisastra dan Widhi Papincatan kita memperoleh gambaran bahwa jabatan Kṣatriya itu tidak berlaku permanen karena dapat berubah atau turun kedudukannya (panten) kalau tidak dapat melakukan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh ajaran agama. Dalam Tabir Mahabrata kita memperoleh gambaran bahwa seseorang Kṣatriya tidak boleh ragu-ragu dalam mengambil sikap terutama ketika melakukan tugas dan kewajibannya. Seorang Ksatriya yang taat melakukan kewajiban untuk membela kebenaran akan mendapat pahala utama. Hal ini diuraikan juga dalam kekawin Nitisastra sargah IV bait 2 sebagai berikut:
Sang śurāmênanging renānggana,
mamukti suka wibhawa bhoga wiryawān.
Sang śūrāpêjahing ranangga mangusir surapada
siniwing surāpsari. Yan bhiru n
mawêdi ng ranānggana pêjah yama-bala manikêp mamidana. Yan tan mati
tininda ringparajanenirang-irang inaňang sinorakên.
Terjemahan:
Sang Ksatriya menang dalam peperangan menikmati kesenangan, kewibawaan, makan enak dan keagungan. Sang Kṣatriya bila mati dalam peperangan, rohnya menuju swargaloka, dielu-elukan oleh para bidadari. Kalau pengecut, lari dalam peperangan dan mati ditangkap dan dihukum, rohnya diadili oleh Bhatara Yama. Kalau tidak mati, dicerca, diolok-olok, dan ditawan oleh musuh.
Di samping itu Bhagavadgītā II, 31 memberikan penjelasan yang lebih jelas tentang letak kesempurnaan seorang Kṣatriya dalam melakukan tugas dan kewajibannya. Sloka tersebut berbunyi sebagai berikut:
sva-dharmam api cāvekṣya
na vikampitum arhasi
dharmyād dhi yuddhāc chreyo ‘nyat
kṣatriyasya na vidyate
Terjemahan:
Apabila engkau sadar akan kewajibanmu, engkau tidak akan gentar, bagi Kṣatriya tiada kebahagiaan yang lebih besar daripada berjuang menegakkan kebenaran.
Dari sumber-sumber tersebut kiranya cukup jelas peran dan fungsi Kṣatriya Varna, yaitu memimpin dan melindungi rakyat. Dari sumber-sumber itu pula dapat disebutkan bahwa raja sudah jelas dapat dipastikan tergolong Varna Kṣatriya.
Lontar Raja Pati Gondola menyebutkan tugas dan kewajiban seorang raja sebagai golongan Kṣatriya, antara lain, Raja harus mengetahui upaya sandhi yang terdiri atas tiga unsur yaitu: (a) Rupa artinya raja harus dapat melihat wajah rakyat dengan baik, (b) Wangsa artinya raja harus dapat melihat tata susunan masyarakat yang utama, (c) Guna artinya raja harus mampu mengetahui rakyatnya yang memiliki keahlian.
Di samping itu lontar tersebut juga menggambarkan bahwa seorang raja harus mengetahui Rajaniti Kamkamuka yaitu suatu ajaran yang menyebutkan seorang raja adalah sebagai pengemudi dan negara sebagai perahu. Jika perahu itu tanpa pengemudi, maka ia akan tenggelam di tengah-tengah lautan, demikian pula sang raja tatkala memegang pemerintahan, kalau lengah sedikit saja negara akan bisa hancur.
Disebutkan pula yang patut dipakai sahabat oleh seorang raja adalah:
- Arya = orang besar
- Dharma = kebenaran/agama
- Anirya = orang yang dapat membunuh musuh
- Mentri = orang yang takut pada kesusahan
- Salyatawan = orang yang banyak keturunannya
- Bali = orang yang mempunyai kesaktian
- Agaduh kaparamartan = rokhaniawan
- Wang agaduh kadiran = orang yang tetap pendirian
- Wang agaduh guna = orang pkamui
- Sidhi = bisa mengadakan persahabatan
- Wigraha = bisa mengadakan pemisahan
- Stahna = bisa mengadakan hubungan baik
- Wibhawa = memperlihatkan kekuatan
- Naya = mampu melakukan serangan
- Sacraya = mampu mengadakan hubungan terhadap yang kuat.
- Utpatiti yaitu pemikiran diri sendiri
- Castra samudbhavah artinya yang diperoleh dari ajaran agama
- Sangsarga artinya pemikiran memberi maaf antara sahabat
- Parinamidi artinya sifat pemaaf bagi seorang pemimpin.
- Maya, artinya mengadakan pancingan-pancingan untuk mendapatkan data-data tentang keadaan musuh
- Upeksa, artinya meneliti hasil pancingan-pancingan itu
- Indrajala, artinya memasang perangkap untuk menangkap musuh
- Wikrama, artinya baru mengadakan tindakan
- Logika, artinya setiap tindakan harus berdasarkan perhitungan akal yang matang.
- Jñāna Wisesa Śudha, artinya mempunyai pengetahuan luhur dan bersih sehingga dapat memadamkan keburukan orang jahat.
- Kaparahitaning Praja, artinya sang prabu menunjukkan tingkah laku belas kasihan kepada rakyatnya.
- Kawiryan, artinya keberanian yang harus menyertai ke dua sifat utama di atas.
- Wibhawa, artinya karena ketiga sifat tersebut di atas itulah sang prabu mendapat keagungan atau kewibawaan.
Hyang Indra Surya Candranilah
Kuwera Bayuagni nahanwulu ta sira
maka angga sang bupati matangnyah
inisti asta brata.
Terjemahan:
Dewa Indra, Yama, Surya, Candra, Anila, Bayu, Kuwera, Baruna dan Agni itulah delapan dewa yang merupakan badan sang raja/pemimpin, delapan itulah yang merupakan Asta Brata.
Kedelapan Brata yang menjadi badannya pemimpin itu bukanlah berdiri sendiri, melainkan suatu kebulatan yang tidak dapat dipisahkan. Asta Brata memberi pengaruh yang besar sekali dan kewibawaan yang luhur, sehingga pemimpin itu mudah sekali menggerakkan orang/bawahannya, untuk bekerja menjalankan tugasnya masing-masing. Dewa-dewa tersebut menurut Agama Hindu merupakan personifikasi sifat-sifat Hyang Widhi.
Jadi Dewa itu bukanlah Tuhan melainkan sifat-sifat Tuhan. Dilihat dari sudut ini maka jelas nampak bahwa seorang pemimpin dalam segala tindakannya harus mencerminkan kemulyaan Hyang Widhi Wasa. Penjelasan yang serupa benar dengan Asta Brata menurut Ramayana di atas dijumpai pula dalam Manawa Dharmasastra VII, 4 sebagai berikut:
Indrānilayam ārkānām,
agneśca varunasya ca
Candravitteśayoś caiva,
mātrā nirhrtya śāśvatih.
Terjemahan:
Untuk memenuhi maksud dan tujuan itu, raja harus memiliki sifat-sifat partikel yang kekal dari dewa: Indra, Wayu, Yama, Surya, Agni, Waruna, Candra, dan Kuwera.
Menurut naskah kuno Nawa Natya, pembantu raja yaitu Patih Hamengku Bumi, yang termasuk pula Kṣatriya, harus memiliki sifat-sifat utama lahir batin, yang kalau disimpulkan adalah sebagai berikut:
- Maka nuni lanlaning bhumi, artinya selalu mengawasi keadaan Negara
- Hamancanagara, artinya selalu mengawasi/menguasai lima penjuru Negara
- Wruh ring sarwa bhastra, artinya tahu mengatasi kerusuhan
- Sarwagama, artinya tahu ajaran-ajaran agama
- Widagda, artinya pandai dan berpengalaman
- Wira, artinya pemberani
- Wiweka, artinya dapat membedakan mana yang benar dan yang salah
- Prajna, artinya berpengetahuan yang luas
- Pragiwaka, artinya pandai berdiplomasi
- Sarwa yuda, artinya pandai dalam hal peperangan
- Wruh ring don, artinya tahu pada tujuan
- Mwang donyakira kira, artinya dapat menyelesaikan tujuan (pekerjaan)
- Sama upaya, artinya setia pada janji
- Samahita, artinya setia pada tujuan suci Negara
Di Bali dan Jawa, ada istilah yang terkenal disebut Manunggaling Kawula lawan Gusti yang maknanya harus ada persatuan antara rakyat dan pemerintahan. Demikian pula ada istilah Katemuaming Bakti kelawan sweca yang maknanya rakyat harus hormat dan mendukung pemerintah dan sebaliknya pemerintah harus melindungi rakyatnya dari segala mara bahaya.
Dengan demikian kiranya disimpulkan bahwa Varna Kṣatriya itu adalah golongan fungsional yang setiap orangnya memiliki kewibawaan, cinta tanah air, serta bakat kelahiran untuk memimpin dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat, negara dan umat manusia berdasarkan dharmanya.
Sekian pembahasan mengenai Penjelasan Kewajiban Kṣatriya bagian dari 4 Catur Varna dalam Hindu yang meliputi tugas dan kewajiban yang harus di miliki oleh seorang Ksatriya bukan saja berarti seorang pemerintah, prajurit, daerah, keunggulan, kekuasaan dan kekuatan namun harus memiliki kekuatan rohani yang menjadi hal paling pokok, semoga penjelasan tersebut dapat memberikan penjelasan yang mudah dipahami, jika bukan materi ini yang sobat cari, mungkin artikel di bawah ini dapat menjawabnya!
0 komentar
Posting Komentar